in

Akankah Kita Bergantung pada Air Minum Kemasan?

Menimbang kembali kelayakan air minum kemasan di tengah menaiknya kebutuhan air minum masyarakat.

Konsumsi Air Minum

Air adalah komponen utama dalam kehidupan manusia. Manfaat air yang paling utama bagi manusia adalah untuk minum. Manusia membutuhkan 2+ liter air setiap hari untuk minum. Jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan tahun 2022 mencapai 275 juta jiwa (Badan Pusat Statistik) sehingga dalam sehari kebutuhan air minum dapat mencapai 550 juta liter. Bisa dibayangkan berapa kebutuhan air minum untuk sebulan, setahun, atau beberapa dekade mendatang.

Sumber air minum yang digunakan oleh masyarakat beragam jenisnya. Masyarakat Jawa Tengah biasa menggunakan air yang bersumber dari pompa, sumur, ledeng, mata air, air hujan, air permukaan, dan air kemasan. Pada tahun 2021 sebagian masyarakat Jawa Tengah menggunakan air kemasan sebagai sumber air minum yang utama (27%). Padahal 2 tahun sebelumnya, yang dominan digunakan adalah air minum dari sumur.

Terjadi lonjakan drastis pada konsumsi air kemasan sebagai sumber air minum utama yaitu sekitar 3 kali lipat.

Penggunaan air kemasan untuk minum memang lebih praktis. Air kemasan bisa didapatkan di mana saja karena bebas diperjualbelikan. Akankah masyarakat selalu bergantung sepenuhnya terhadap air kemasan?

Air Kemasan Tidak Layak?

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 air minum yang aman dikonsumsi bagi kesehatan adalah air yang tidak berasa, berbau, terbebas dari bakteri maupun zat-zat radioaktif. Air yang layak untuk diminum diperoleh dari sumber air yang layak.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sumber air minum yang layak adalah berasal dari: ledeng/ keran, keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH), mata air terlindung, sumur terlindung, sumur bor/ sumur pompa yang jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran, penampungan limbah, atau pembuangan sampah.

Selain sumber air yang telah disebutkan maka dikategorikan sebagai sumber air minum yang tidak layak, misalnya: air kemasan.

Air kemasan dikategorikan tidak layak karena dilihat dari sisi akses keberlanjutannya. Masyarakat yang bergantung pada sumber air minum tersebut rentan untuk mengalami kelangkaan karena air yang diperoleh berasal dari jual beli.

Air kemasan merupakan komoditas perdagangan yang pasokannya sangat bergantung pada kondisi pasar. Akses terhadap air minum menjadi poin utama dari penilaian layak/tidaknya suatu sumber air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Hal tersebut dituangkan sebagai tujuan keenam dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pada tahun 2030 diharapkan seluruh penduduk Indonesia dapat mencapai akses air minum layak yang aman dan terjangkau.

Pro-Kontra Konsumsi Air Kemasan

Meskipun masuk dalam kategori yang tidak layak dari sisi akses keterjangkauan, tren penggunaan air kemasan terus meningkat. Berdasarkan data BPS, konsumsi air kemasan dalam satu dekade terakhir meningkat pesat.

Pada tahun 2009 sekitar 13% penduduk Indonesia mengkonsumsi air kemasan dan pada tahun 2018 mencapai lebih dari 36%. Dikutip dari laman Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan (Aspadin), pertumbuhan industri air kemasan di Indonesia dimulai sejak tahun 1973.

Volume penjualan di tahun 1973 baru mencapai 6 juta liter setahun. Seiring dengan meningkatnya permintaan dari pasar, jumlah produksi air kemasan terus melonjak mencapai 30,78 miliar liter di tahun 2021.

Air Minum Kemasan Lebih Sehat?

Air kemasan berhasil membangun image tersendiri dalam masyarakat. Mengkonsumsi air kemasan diasosiasikan sebagai ciri orang-orang yang memiliki gaya hidup sehat. Selain itu, air kemasan juga diklaim lebih higienis dibandingkan air minum yang diolah atau direbus sendiri. Masyarakat dengan pendidikan yang tinggi atau pendapatan yang besar cenderung lebih memilih air kemasan dibanding sumber air minum lainnya.

Bukan Solusi Kebutuhan Air Minum

Meskipun memiliki banyak kelebihan, masyarakat sebaiknya tidak bergantung sepenuhnya kepada air kemasan. Kehadiran dan menaiknya konsumsi air minum kemasan di tengah-tengah masyarakat bukanlah solusi utama untuk mengatasi keterbatasan air minum. Air kemasan muncul sebagai komoditas perdagangan yang harganya mengikuti permintaan pasar. Pengawasan pemerintah terhadap kualitas air kemasan yang beredar juga belum ketat.

Terbukti, dengan banyaknya kasus pemalsuan merk dagang. Selain itu, dampak negatif yang paling dirasakan adalah bertambahnya sampah-sampah plastik sebagai keluaran dari produk air kemasan.

Air kemasan dikemas dalam plastik.  Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup, sampah plastik Indonesia terbanyak di dunia, setelah China.

Beberapa dampak negatif itulah yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terkait semakin meningkatnya konsumsi air kemasan sebagai sumber air minum utama keluarga.

Masyarakat perlu diberikan edukasi yang tepat mengenai sumber air minum yang bersih dan layak. Edukasi dilakukan supaya masyarakat paham bahwa sumber air minum yang higienis tidak hanya berasal dari air kemasan, tetapi juga bisa berasal dari sumber lain seperti: ledeng, sumur, dan mata air, sehingga kebutuhan air masyarakat dapat dipenuhi secara adil dan merata, tidak sepenuhnya bergantung pada air kemasan yang lebih condong sebagai komoditas perdagangan.

Bagaimana dengan konsumsi air minum di rumah Anda?

*) Lulu Lestari, SST. Tinggal di Cilacap Utara, Jateng. Bekerja di Badan Pusat Statistik Kab. Cilacap.