Yang bisa bertahan di media sosial, kalau mereka punya cerita, sekalipun itu cerita bohong.
Metafora untuk informasi, cenderung ke arah biologis, digambarkan: tumbuh, menyebar seperti virus, mengakar. Informasi beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Darwin. Tujuan adaptasi, menurut teori evolusi: “survival to be the fittest“, berjuang menjadi paling-unggul. Ide dapat memegang kesadaran publik, menjadi doktrin, hanya jika (ia bertahan) dan kuat. Melalui narasi, cerita.
Menurut Richard Dawkins, sebagaimana gen, unit reproduksi dasar, yang setara dengan gene bagi tubuh, kalau dalam informasi adalah: meme. Meme berupa konten visual, sangat sederhana, di dalamnya ada narasi. Seringnya, sebuah foto dengan 1-2 baris caption tersematkan. Isinya bisa joke, partisan, jargon, call-to-action (ajakan bertindak), parodi, dll.
Arketip narasi, banyak yang mengalami pengulangan dan hampir sama: David-Goliath (lemah melawan kuat namun akhirnya menang yang lemah), tampilnya pahlawan di menit-menit terakhir (atau justru kalah, seperti di sepak bola yang seru karena taruhan), teori konspirasi, kepahlawanan, orang istimewa, bencana besar, anak tanpa bapak (seperti kisah Musa dan Isa), termasuk juga: “ideologi”. Bukan soal benar-tidaknya cerita itu, tetapi kekuatan bertahannya dalam pikiran manusia.
Utopia dan ideologi, juga merupakan narasi. Hollywood besar karena narasi, menyisipkan ideologi di dalam cerita-ceritanya.
Ketika orang menolak fakta (atau cerita-berdasarkan-bukti), ia sedang memberikan ekosistem yang tak-nyaman bagi cerita itu. Walaupun ada bukti, penolakan terjadi. Mengapa ini terjadi? Karena orang cenderung “menolak pembuktian”. Proses pembuktian itu butuh pembelajaran panjang (sedangkan bagi kebanyakan orang, media sosial lebih asyik jika tidak terlalu banyak keseriusan), menghabiskan-waktu (time-consuming), dan perlu banyak piranti berpikir.
Orang tidak membaca berita berdasarkan tingkat faktualitas berita, sebaliknya, mereka percaya karena memilih untuk percaya.
Banyak bias dalam pembacaan. Mereka percaya kepada logika sederhana yang tidak mengusik kepercayaan lama, dengan cara “bersikap”. Sekalipun berita yang ditawarkan itu jelas berkaitan dengan hidupnya, “memilih” (bersikap: Like, wow, sedih, share) lebih kuat daripada “menalar” (tindak verifikasi fakta).
Pada era “post-truth”, tidak ada lagi cara yang dapat diandalkan untuk memilih cerita. Termasuk Google dan Facebook.
Dalam Discworld (by Terry Pratchett), ada istilah “narrativium“. Manusia hanya bisa memahami alam semesta melalui cerita. Naluri dasar manusia: bercerita. Hanya dengan memaksakan perintah naratif, manusia baru bisa memahami dunianya.
Bagaimana Ide-ide Buruk Terbentuk di Media Sosial?
Ide buruk terbentuk di media sosial, dan membesar, karena orang bersikap permisif terhadap cerita-besar. Mereka mungkin intoleran, namun hanya intoleran terhadap sikap yang menentang cerita-cerita besar yang telah mereka percaya sejak lama.
Contoh mudah dan sering ditemui dalam percakapan: “Masalah ini hanya bisa diselesaikan orang terpilih”; “Suku X ditakdirkan mengatur dunia”; “Amerika negara terbesar”; “Yahudi itu ras paling cerdas”; “Kita ini, orang biasa”, dst. Orang berdialog, namun sebatas memilih menyatakan sikapnya.
Jadi, tidak mendialogkan cara-berpikir dan sebatas pertarungan-data, itu berbahaya.
Toleran, namun tidak berani mempertanyakan kebudayaan sendiri. Tidak mau mengubah apa yang mereka percaya. Dialog (2 pihak), tanpa elaborasi (penjelajahan ide dan berani mengemukakan perbedaan). Mencari kesamaan, tetapi tidak memperbaiki jalan-bersama (yang penting kelihatan tersenyum di foto dan meneriakkan toleransi). Mengikuti, memilih diam, dan menjadi mayoritas-diam.
Media sosial memaksa kita ke dalam silo ideologis realitas. Banyak orang secara tak-sadar membenamkan-diri dalam silo itu, untuk terbebas dari ledakan realitas.
Bagaimana bisa kebenaran (hal-hal faktual) bersaing dengan kebohongan (hoax, fake news)?
Sekali lagi, karena orang permisif terhadap cerita-besar dan tidak mau mengubah apa yang sudah ia percaya.
Semakin sederhana logikanya, semakin diterima.
Contoh Kasus
Contoh kasus, di suatu negara, ada desakan untuk menghemat (hidup sederhana, pengeluaran sedikit). Kelihatannya baik. Tujuan: kalau rakyat berhemat, utang luar negeri bisa lebih optimal dipakai untuk pembangunan. Fakta: pengeluaran rumah tangga itu tidak sama dengan ekonomi nasional.
Kita tidak bisa menjamin (bahkan samasekali tidak bisa) jika pengeluaran penduduk sedikit, maka negara akan semakin kaya. Subsidi kepada rakyat jika turun, tidak berarti negara akan semakin kaya. Tidak.
Di balik pengeluaran rakyat yang tinggi, ada siklus perdagangan, transaksi, dst. Politik penghematan menyebabkan kontraksi ekonomi, justru memaksa pemerintah untuk benar-benar meminjam lebih banyak.
Struktur lingkungan tempat narasi fundamental kita lahir dan tumbuh telah berubah. Dengan demikian, logika palsu (yang tidak memperhatikan teori ekonomi global), tentang pentingnya penghematan, ternyata diterima, karena berbasis pada “cerita”.
Bukan anomali. Faktanya, semakin sederhana (di rumah) justru bikin transaksi global (dengan negara lain) macet. Cerita “mari berhemat”, berhasil karena logika bercerita yang sederhana, cocok bagi yang nggak ngerti ekonomi.
Informasi, di internet, memiliki inftrastruktur dan sistem penyebaran kompleks.
Ketika cerita-sederhana lebih dipercaya, yang terjadi, pemakai internet (terutama medsos) lebih suka menerima “apa saja” yang dianggapnya masuk-akal. Tidak peduli, faktanya seperti apa.
Kalau di media sosial sebatas perang data, tanpa bicara tentang cara-berpikir dan bagaimana ide terbentuk, jadinya adalah kepercayaan lama yang tak pernah dikritik.
Etnonasionalisme meningkat, justru setelah orang saling-sapa di media sosial.
Lihatlah jargon ini: “Kita adalah bangsa yang besar”, seperti kata Amerika. Bisa berbahaya jika berkaitan dengan masalah global. Amerika merasa menjadi polisi dunia, dengan PBB dan hak veto.
Etnonasionalisme akan membawa kepada paksaan ideologis dan menyederhankan realitas. Bahwa negara ini butuh pahlawan-di-menit-terakhir. Bahwa selalu sedang terjadi kekacauan yang membutuhkan presiden X. *) Terus, yang lain menurutmu salah?
Marx menganggap sejarah itu materi. Ini adalah “materialisme historis”.
Membahas (atau mengalami) zaman apapun, selalu diawali dengan satu kalimat: “ini pertarungan antarkelas”. Media berita politik, sering berposisi seperti ini: melihat siapa yang bertarung, dan lagi-lagi menyederhanakan cerita. Siapa melawan siapa. Seorang politikus atau partai, melawan ketidakadilan. Lalu bergeser menjadi melawan “seseorang” yang dilabeli sebagai “musuh bersama”.
Mulai dari media, pengamat, dan pemakai media sosial, mereka “berhenti” pada satu lini: kita sedang bertarung, ini ada konflik. Belum apa-apa sudah konflik. Atau harus konflik. Padahal baju mereka ini “tradisi” dan “agama”.
Dan yang diandalkan selalu sama: cerita-cerita sederhana. Belanda lama bertahan karena bisa mereproduksi cerita. Apa mau dipakai sampai sekarang?
Cerita-cerita buruk bisa bertahan karena mental pemirsa nggak punya resistensi (ketahanan), cenderung reseptif (menerima). Itu yang bikin orang mudah percaya pada teori konsiparsi dan “menurut takdir” nanti menang siapa.
Kedungombo, di zaman Belanda, menenggelamkan ratusan rumah, diawali dengan sebuah ramalan (bikinan Belanda): “wader tekan manggar”. Ikan mencapai kembang pohon kelapa. Artinya: harus rela tenggelam.
Cerita Baruklinthing tentang “orang asing” yang datang dan menantang mencabut lidi, lalu seluruh desa tenggelam, itu juga bikinan Belanda. Agar orang mau ditenggelamkan secara paksa.
Dan sampai sekarang luar biasa awet. Jika kebenaran tidak sesuai dengan cerita-dasar, kebenaran akan ditolak, sekalipun ada fakta yang valid, relevan, dan terpercaya.
Terutama, menjelang Pemilihan Umum. : ) [dm]
Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.