Kita semua menyukai cerita. Bagaimana kalau ternyata kita sering mendengarkan cerita yang salah? Bagaimana kalau tidak ada penjelasan memuaskan?
Saya tidak berbicara tentang hoax, apalagi mengajak orang memihak “kebenaran”.
Saya berikan contoh, dari gambar berikut:

Apa yang terlihat dari gambar ini? Dari mana segitiga maya itu berasal?
Ilusi, Asosiasi, dan Cerita
Pikiran membuat asosiasi, citraan segitiga dalam pikiran, dan kedua 3 bagian dalam gambar itu harus memiliki makna. Pikiran manusia menghubungkan itu dalam bentuk cerita, bahwa ada segitiga di balik ketiga bagian ini.
Otak manusia menyeimbangkan kepercayaan dan keinginan untuk memutuskan tindakan. Fiksasi cerita (narasi) dibuat hanya dalam beberapa langkah singkat. Yang penting menjelaskan ada apa di balik kejadian ini.
Dalam keseharian, kejadiannya bisa begini. Saya berikan beberapa pertanyaan kepada kawan-kawan, terkait sejarah yang sulit dijawab, seperti ini.
Bagaimana peran perempuan dalam pemerintahan, di kerajaan-kerajaan Jawa kuno abad ke-8 dan ke-9 M? Siapa penemu tulisan Jawa? Bagaimana originalitas puisi-puisi Chairil Anwar? Hanya sedikit orang yang bisa menjawab.
Cerita sebagai Reduksi atas Realitas
Kebanyakan, mereka menggunakan “cerita” dari orang lain, yang mereka konsumsi, dan apa kata “akal sehat” (common sense), yang sebenarnya merupakan “fiksi” yang terpisah sama sekali dari fakta.
Itu bisa terjadi karena mereka percaya bahwa kekacauan data bisa diselesaikan dengan cerita. Sejauh cerita itu dianggap tidak mengganggu, mereka bisa menerimanya. Dan memakainya. Sekali lagi, pikiran sering membenarkan apa yang terpisah antara fiksi dan fakta _dengan_ cerita.
Pertanyan tentang “bagaimana” dan “mengapa”, membutuhkan cerita, dengan sekian cara pembenaran, walaupun terjadi bias kognitif dan kesalahan berlogika. Cerita bisa diterima. Ketika data tidak memadai, tidak bisa divalidasi, dan terjadi kekaburan antara fiksi dan fakta, terjadilah cerita.
Alex Rosenberg, dalam “How History Gets Things Wrong: the Neuroscience of Our Addiction to Stories”, mengatakan bahwa kecanduan manusia pada cerita adalah perpanjangan dari ketergantungan kita pada teori pikiran.
Berita sebagai Cerita Faktual
Berita, sebenarnya adalah cerita yang menguraikan fakta berdasarkan data dan sudut pandang tertentu. Kalau seorang wartawan melaporkan sekian persen penduduk Semarang masih berada di bawah garis kemiskinan, ia harus menyampaikan standar itu menurut siapa. Seperti itulah contoh penerapan sudut-pandang (perspektif) dalam berita.
Jurnalisme, sekarang ini, masih sibuk dengan bagaimana memberitakan secara obyektif, bagaimana berposisi “netral”, menghilangkan jarak antara pengamat (penulis berita) dengan obyek berita. Ini sebenarnya disiplin antropologi dan sosiologi, 2 mata kuliah yang masuk daftar “paling dibenci” mahasiswa, dalam bentuk lain.
Jurnalisme sebagai Jembatan
Bagaimana kalau jurnalisme berfungsi sebagai jembatan. Keadaan sekarang sebagai “before” (sebelum), keadaan yang lebih-baik yang mau kita wujudkan bersama sebagai “after” (setelah), dan jurnalisme menjadi jembatan. Bukan sekadar melihat realitas dari 1 sudut pandang.
Bisakah jurnalis memprediksi jika mereka sangat dekat dengan kejadian dan mengerti bagaimana cara memberitakan? Bukankah memprediksi merupakan jalan menciptakan masa depan yang lebih baik?
Ramalan dan Adaptasi
Kebanyakan analis, membuat prediksi, namun lebih sering tidak tepat. Bill Gates meramalkan (pada tahun 1993) kelak semua rumah akan memiliki personal computer dengan operating system Windows. Yang terjadi kemudian, sampai 2010, orang lebih banyak membeli laptop, dan setelahnya, lebih banyak lagi orang memakai smartphone dengan operating system Android, yang mirip personal komputer yang dimampatkan.
Banyak ramalan tidak berhasil. Jurnalis atau sejarahwan tidak dapat memprediksi atau menjelaskan perilaku manusia berdasarkan motif atau tujuan, tetapi sebaliknya harus menganalisis perubahan dalam masyarakat berdasarkan kenyataan pahit seleksi-alam dan kelangsungan hidup yang terkuat. Bahwa hidup itu “kejam”.
Terjadi pertarungan dengan rumusan sederhana dari George McKeown, “Mereka yang sukses adalah mereka yang sukses beradaptasi”. Memang, makhluk hidup yang terkuat itu yang paling bisa beradaptasi.
Singkarnya, mencari “tujuan” dan “maksud” di balik suatu peristiwa, sering menjadi penyederhanaan realitas. Mari melihat bagaimana orang mudah mereduksi sesuatu yang kerap dianggap abstrak. Sejarah.
Mengingat dengan Cara Melupakan
Hanya ambil yang terbaik, singkirkan yang lain. Begitulah pengetahuaj palokratik maskulin berpendapat. Ingat hasil pencarian teratas, lupakan pembicaraan, begitu kata para ahli optimasi hasil pencarian.
Dalam sejarah, orang mengajukan pertanyaan tentang “mengapa”.
Mengapa terjadi peperangan? Mengapa ada zaman Renaissance? Mengapa Dinasti Abbasiyah di Turki memiliki ciri pendidikan berbeda?
Namun sayangnya, dalam bercerita, karena tuntutan memberikan “moral” (pesan) dalam cerita, sering terjadi penyederhanaan. Pernahkah membaca apa tujuan piramida didirikan? Raja dan orang kaya di Mesir, yang percaya pada mitos mereka, mendirikan piramida dan memumikan mayat, agar hidup abadi, terhubung, dan menjadi bintang. Selamanya. Itu kata sejarah pada umumnya, yang terlanjur ditelan apa adanya.
Contoh lain, pertanyaan dalam sejarah. Mengapa terjadi Perang Dunia II? Siapa saja pahlawan dalam perang itu? Penyederhanaan kembali terjadi.
Paradoks berlaku dalam cerita: mengingat berarti melupakan. Pelajaran sejarah di kelas, meminta murid (atau mahasiswa) mengingat apa yang terjadi dalam sejarah..Monumentasi beberapa peristiwa dan menyebut beberapa pahlawan yang namanya tertulis di monumen. Mengigat, berarti melupakan.
Melupakan Tujuan, Mencari Prediksi
Tindakan manusia bukan terjadi karena tujuan semata-mata. Keputusan dapat ditentukan oleh pola dalam ingatan (pengalaman atau naluri) atau penghargaan.
Yang terjadi pada Google, AI (artificial.intelligence, kecerdasan rekaan), algoritma mesin pencari, atau machine learning, juga demikian: orang mendapatkan “prediksi” namun mesin itu tidak menjelaskan mengapa hal itu terjadi.
YouTube menjelaskan cara fair dan tidak curang, agar bisa ngehit di Beranda, tanpa harus ngiklan. Atau mengapa ketika mencari “opini pembaca” di Google, terjadi keajaiban. Dan besok peraturan itu berubah.
Machine learning memprediksi apa yang akan terjadi, tanpa banyak menjelaskan alasan itu akan terjadi. Selain itu, machine learning menyederhanakan realitas, berdasarkan input. Mirip cara orang menuliskan sejarah, bukan? Ada manipulasi, opini, dan apa kata kekuasaan.
Yang terhebat dari penyederhanaan ini, machine learning menangkap lebih banyak kompleksitas, fluiditas, dan klasifikasi data. Apa yang baru saja kamu pasang di internet, bisa langsung dicari. Sekompleks apapun data, asalkan ada model datanya, tetap bisa dipahami mesin. Fluiditas terjadi ketika data dalam keadaan sedang dialirkan dan langsung dipakai. Misalnya, Shinta, pemilik kafe X, sedang memasang iklan di Google AdWords. Dan disetujui. Tepat 10 detik setelah ikannya terpasang, ada Dina sedang jalan-jalan di Ngaliyan, mencari tempat nongkrong, dan iklan Shinta ada di urutan teratas karena relevan berdasarkan lokasi dan pelanggan tertarget. Contoh fluiditas data yang lain, terlihat ketika komputer bisa memprediksi harga saham dan menampilkan nilai tukar mata-uang “sekarang”. Begitu ada input atau perubahan, detik ini, berlaku di detik kemudian.
Orang menyerah kepada ekspektasi. Termasuk ekspektasi terhadap mesin bernama media online dan media sosial. Orang hanya “menebak” bagaimana kecerdasan-buatan bekerja, bagaimana mesin-mesin ini bisa mencerdaskan diri mereka sendiri.
Ada iklan yang bekerja, hasil keputusan beberapa orang, yang membuat tampilan bisa berubah berdasarkan prioritas para pengiklan. Atau content unggulan yang dioptimasi. Atau yang banyak menjadi perbincangan.
Media, Penyusutan Gagasan
Algoritma kecerdasan buatan, bekerja sebagaimana otak manusia.
Mengapa kita begitu bersikeras mengubah sejarah yang kompleks menjadi cerita sederhana? Mengapa setelah terjadi peperangam, orang mengingat “sejarah” (menyebutkan siapa saja pahlawan perang ini) dengan cara melupakan detail lain?
Perang memiliki cara memastikan akhirnya sendiri dengan perubahan dahsyat.
Perang Dunia II, dalam hal ini, mengubah banyak hal: ilmu statistik, recording, filsafat eksistensialisme, psikologi humanistik, sastra, menampilkan wajah baru. Ada hubungan korelasional, walaupun bukan sepenuhnya kausatif.
Marshall McLuhan benar: “medium adalah pesannya”. Kita menyusutkan ide-ide agar halaman tersesuaikan, buku-buku sangat pintar bercerita namun buruk dalam membimbing kita ke masa depan.
Pendekatan Antardisiplin
Tidak jarang, jurnalisme (dan bidang lain), hanya melakukan optimasi atas masa lalu. Evaluasi, mencari yang baik dari masa lalu, dan penegasan “mana yang akan kita pakai”, lebih muat daripada fokus ke masa depan dan melakukan elaborasi.
Jurnalisme menjinakkan kekacauan sekaligus memelihara kekacauan itu. Media sering menuai untung dan menjaga “issue” yang hangat, dalam bentuk running.
“Menggoreng” (menyiasati yang hampir-basi dengan cara menghangatkan), sesekali dilakukan demi sensasi.
Dunia memiliki sifat kacau, sebagian membiarkan, lainnya tidak tidur demi menertibkan dunia. Dunia kurang bisa dijelaskan daripada yang ingin kita akui. Itu sebabnya, yang saya dengarkan dari jawaban kawan-kawan saya, ketika saya mengajukan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” di awal tulisan ini, lebih banyak berupa “memilih jawaban” alias “pemihakan”. Bukan berpikir yang sesungguhnya.
Rosenberg dan Weinberger menginspirasi reformulasi jurnalisme yang lebih radikal. Jurnalisme membutuhkan titik awal yang berbeda. Jurnalisme yang digagas, dalam hal ini, tidak menulis cerita dalam bentuk publikasi, melainkan jurnalisme yang dimulai dengan menyelesaikan masalah melalui lintas-disiplin. Jurnalisme bukan lagi penjaga gerbang, melainkan jembatan. Yang menghubungkan “before” dan “after”.
“Kamu Bukan Bagian dari Kelompok Saya..”
Sapolsky, pakar neuroscience, menemukan, “Otak kita membedakan antara anggota kelompok dan orang luar dalam sepersekian detik, dan mereka mendorong kita untuk bersikap baik kepada yang pertama tetapi memusuhi yang kedua.. Bias ini otomatis dan tidak disadari dan muncul pada usia muda yang menakjubkan.”.
Meme siapa ini? Orangnya siapa? Apakah ini buzzer? Ini bot, fake account, ataukah manusia sungguhan? Apa bendera politiknya? Dan jika diperluas bisa nenjadi begini. Apakah saya punya kompetensi atas masalah ini? Apakah bersentuhan dengan penghidupan saya secara langsung?
Dalam bahasa yang lebih singkat lagi, “Bagaimana ceritanya?”.
Manusia bisa membuat keadaan menjadi lebih baik. Yang penting, manusia tidak memblokir kehendak-baik dan strateginya sendiri, untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Antropologi dan Memahami “Yang Lain”
Untuk memahami dan melihat “orang lain”, di negara seperti Indonesia, kita bisa memakai antropologi.
Tim Ingold dari Universitas Aberdeen, menulis “Antropologi : Mengapa Penting” di New York Times, berpendapat bahwa antropolog bergulat dengan konsep objektivitas, jarak dari subyek (yang sedang dibahas), eksploitasi cerita mereka. Ingold menolak objektivitas.
Tujuan antropologi “..bukan untuk menafsirkan atau menjelaskan cara orang lain; untuk tidak menempatkan mereka di tempat mereka atau menyerahkan mereka ke -sudah dipahami-.”. Cara orang Papua makan dan bekerja, tidak boleh didefinisikan dengan 1 ketetapan berdasarkan kebudayaan “saya”. Belanda gagal memahami Aceh, berkali-kali kalah dalam gerilya hutan, karena mendefinisikan Aceh menurut Belanda.
Antropologi bukan untuk katalog keragaman kehidupan manusia tetapi untuk bergabung dengan percakapan (conversation), saling-mengenal.
Percakapan ini bukan hanya tentang dunia. Justru percakapan itulah dunia yang kita huni.
Mengubah Pertanyaan
Jika semula wartawan bertanya, “Bagaimana mereka hidup?”, antropologi mengubah pertanyaan ini menjadi, “Bagaimana mereka seharusnya hidup menurut mereka sendiri?”. Apa yang dianggap sebagai keunikan dalam kepenulisan, berita, dan fotografi, kadang menghasilkan tulisan dan gambar yang agak sama, karena tidak menggunakan pendekatan antropologi.
Sekali.lagi, perlu diingat, pikiran manusia secara alami melakukan penyortiran “saya” dan “yang lain”, serta menilai berdasarkan pengalaman.
Krisis Media: Krisis Epistemologi dan Fakta-Fakta Alternatif
Krisis media sekarang, bukanlah bagaimana membedakan mana hoax mana yang bukan. Krisis media sekarang adalah krisis epistemologi dan penggalian fakta-fakta alternatif. Krisis untuk “berani berbeda”.
Yang mengenaskan dari mencari yang paling benar adalah penegasan tentang “yang terpilih” dan “yang terbaik”. Pandangan logosentrisme, dualisme, dan penyederhanaan seperti ini, sangat menentukan tersingkirnya peluang untuk mengubah keadaan.
Kelompok kamu salah, berita kamu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kelompok saya paling benar. Begini saja. Dan ikuti saya.
Epistemologi tunggal, narasi besar, dan menyingkirkan alternatif, akhirnya menyederhanakan pendidikan menjadi “meneruskan ajaran” dan “mendidik konstituen”. Alias follower.
Pertanyaan Akhir
Bagaimana ilmu kognitif memahami bagaimana informasi-yang-salah (terutama yang beredar _sebagai_ tulisan di media online) tinggal di otak? Selain belajar bagaimana menulis, pelajarilah bagaimana cara membaca informasi palsu. Bagaimana pikiran bekerja, bagaimana cara otak memproses informasi?
Dekati dengan neuroscience. Dekati dengan beberapa disiplin ilmu..
Media online bukan hanya milik wartawan, bukan milik politikus dan selebritas. Agar media online tidak menjadi optimasi nostalgia koran analog. [dm]