JAKARTA (jatengtoday.com) – Brutalitas aparat saat pengamanan aksi demonstrasi menolak RUU Pilkada di Jakarta pada Kamis, 22 Agustus 2024, dan di Kota Semarang, Jawa Tengah dan Makassar, Sulawesi Selatan pada Senin, 26 Agustus 2024, masih menjadi sorotan.
Wakil Koordinator KontraS, Andy Muhammad Rezaldy mengatakan, selain menimpa para demonstran, kekerasan aparat juga menimpa jurnalis yang sedang meliput demonstrasi.
“Kami mendokumentasikan beberapa dugaan tindak kekerasan serta intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada jurnalis baik media cetak, elektronik, maupun daring,” katanya dalam keterangan pers, Kamis (29/8/2024).
Berdasarkan data yang diperoleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), setidaknya terdapat 11 jurnalis di Jakarta menjadi korban kekerasan aparat. Bentuk kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis di antaranya intimidasi, perusakan alat kerja, ancaman pembunuhan, kekerasan psikis dan fisik.
“Kekerasan terhadap jurnalis sebagian besar dialami ketika jurnalis tengah mendokumentasikan tindakan represif aparat TNI dan Polri terhadap peserta aksi,” terangnya.
Dijelaskannya, kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap jurnalis merupakan pelanggaran terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Aparat keamanan diwajibkan untuk memprioritaskan pembubaran massa tanpa menggunakan kekuatan senjata,” katanya.
Pihaknya mendokumentasikan masifnya berbagai bentuk tindak kekerasan, intimidasi dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian kepada mahasiswa dan masyarakat sipil.
“Diduga juga ada upaya sweeping dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat sipil pasca demonstrasi RUU Pilkada,” katanya.
Hal itu melanggar UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers yang secara eksplisit mengatur bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
“Tindak kekerasan kepada jurnalis juga merupakan bentuk serangan terhadap independensi media sebagai salah satu pilar demokrasi,” tegasnya.
Selain oleh kepolisian, juga ditemukan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI kepada peserta demonstrasi khususnya mahasiswa. Menurutnya, ini melenceng jauh dari tugas pokok TNI sebagaimana diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2004.
“Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI juga menunjukkan gejala intervensi militer dalam ruang sipil,” katanya.
Dia meminta, lembaga pengawas yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan pemantauan terhadap tindak kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat pada aksi 22 Agustus 2024.
“Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk menindak tegas dan memberikan sanksi etik serta pidana kepada anggotanya yang terbukti melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat sipil, mahasiswa dan jurnalis,” katanya.
Aparat Profesional
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Budhi Masthuri, menyayangkan terjadinya kekerasan dalam pengamanan aksi demonstrasi. “Adanya pengamanan aparat, justru harus memastikan aman (bukan malah terjadi kekerasan),” terangnya, Kamis (29/8/2024).
Menurutnya, aparat seharusnya mengedepankan cara-cara persuasif dan profesional. Tindakan represif dalam demonstrasi cenderung berpotensi memicu kekacauan.
“Jika pun terpaksa harus represif, seharusnya menjadi pilihan paling terakhir, manakala keselamatan aparat memang benar-benar terancam,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata Masthuri, aparat seharusnya memastikan bahwa warga dapat menyampaikan aspirasi dan pendapat secara merdeka. “Ini menjadi penghormatan atas hak konstitusional warga,” katanya.
Masih kata Masthuri, pengamanan aksi Peringatan Darurat “JogjaMemanggil” di Yogyakarta, beberapa waktu lalu perlu mendapat apresiasi.
“Menarik, pengamanan aparat saat aksi di Yogyakarta dilakukan tanpa senjata, tameng, pentungan, dan gas air mata,” terang dia.
Menurutnya, sikap kepolisian di Yogyakarta ini patut menjadi contoh baik. Aparat keamanan melebur dengan peserta aksi untuk saling mengamankan proses penyampaian pendapat di depan umum. “Terbukti, tidak ada kekerasan,” ujarnya. (*)