MALANG (jatengtoday.com) – Sungguh menyedihkan, hingga berita ini dilansir tercatat 127 orang tewas akibat kerusuhan saat laga Liga 1 Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) malam. Jumlah korban ini masih dimungkinkan bertambah. Ini menjadi tragedi paling kelam dalam sejarah sepak bola di Indonesia.
Berdasarkan jumlah korban jiwa, insiden Kanjuruhan ini nomor dua terbesar di dunia setelah kerusuhan berdarah saat pertandingan Peru melawan Argentina dalam kualifikasi Olimpide di Estadio Nacional, Lima, Peru, pada 24 Mei 1964 silam. Kerusuhan ini mengakibatkan 328 orang tewas.
Sebanyak 127 korban akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, tersebut telah diumumkan oleh pihak kepolisian dalam keterangan pers secara resmi oleh Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta. Rata-rata korban merupakan suporter Arema FC dan dua anggota polisi.
“Telah meninggal 127 orang, dua di antaranya anggota Polri,” ungkap Nico, Minggu (2/10/2022).
Dari jumlah tersebut, telah dilakukan pendataan, 34 orang meninggal di dalam stadion. Sisanya meninggal saat proses pertolongan dan dirawat di rumah sakit. Tidak hanya itu, sedikitnya ada 180 korban luka-luka yang masih dalam perawatan di rumah sakit dan 13 mobil polisi dan pribadi rusak.
Menurut Kapolda Jatim, insiden ini dipicu adanya kemarahan suporter Arema FC karena kecewa atas hasil pertandingan. Kericuhan bermula saat para suporter Arema menyerbu lapangan usai timnya kalah melawan Persebaya. Banyaknya suporter yang menyerbu lapangan direspons polisi dengan menghalau dan menembakkan gas air mata. Gas air mata juga mengarah ke tribun penonton sehingga membuat para suporter panik, berlarian dan terinjak-injak.
“Korban karena penumpukan massa,” kata Kapolda Jatim.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam keterangan pers-nya merespons insiden di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini. Mahfud menegaskan bahwa tragedi ini terjadi bukan karena kericuhan antara suporter Persebaya dan Arema.
“Perlu saya tegaskan bahwa tragedi Kanjuruhan itu bukan bentrok antar suporter Persebaya dengan Arema. Sebab, pada pertandingan itu suporter Persebaya tidak boleh ikut menonton. Supporter di lapangan hanya dari Arema,” terang Mahfud.
Adanya korban jiwa akibat berdesak-desakan . “Para korban pada umumnya meninggal karena desak-desakan, saling himpit, dan terinjak-injak, serta sesak nafas. Tak ada korban pemukulan atau penganiayaan antar suporter,” ungkapnya.
Mahfud juga menjelaskan bahwa sebelum pertandingan, aparat sudah mengantisipasi terjadinya kerusuhan dengan berbagai cara, seperti koordinasi dan usul-usul teknis di lapangan.
“Misalnya, pertandingan dilaksanakan sore, bukan malam hari, jumlah penonton agar disesuaikan dengan kapasitas stadion, yakni 38 ribu orang. Tapi usul-usul itu tidak dilakukan oleh panitia yang tampak sangat bersemangat. Pertandingan tetap dilangsungkan malam, dan tiket yang dicetak jumlahnya 42 ribu,” kata Mahfud. (*)