REMBANG (jatengtoday.com) – Prosesi Kirab Pataka Gema Kartini digelar di Museum Kartini, Rembang, Sabtu (20/4/2019) malam. Sebanyak 10 turis dari 8 negara ikut menyaksikan bagaimana tradisi warga Rembang menghormati jasa pahlawan RA Kartini dalam memerjuangkan emansipasi wanita di zaman Kolonial Belanda. Para turis tersebut mengenakan pakaian adat Kanung, tampak berbaur dengan warga setempat yang sebagian juga berbalut busana adat.
Prosesi diawali dengan lima penari menari Sang Kartini. Setelah itu, istri Bupati Rembang, Hasiroh Hafidz mengeluarkan Pataka dan menyerahkan ke Bupati Abdul Hafidz yang kemudian mengikatnya ke tiang dan menyerahkan ke Duta Wisata. Selanjutnya dikirab oleh OPD, perwakilan Desa, Pramuka, Polwan, TNI, OSIS, dan peserta lomba Lampion dari berbagai sekolah.
Berbagai bentuk lampion dibawa dan dipikul para peserta. Mereka pun menarik perhatian masyarakat yang memang ingin menyaksikan momen setahun sekali tersebut. Beragam lampion yang diarak berbentuk unik. Ada yang dibentuk mirip tugu, pesawat, rumah-rumahan, dan lain sebagainya. Lampion tersebut diarak dari Museum Kartini Rembang, hingga ke makam RA Kartini.
Pada kesempatan itu, Abdul Hafidz mengapresiasi turis yang antusias menyaksikan prosesi Kirab Pataka. “Artinya, Kartini makin dikenal di mancanegara. Semoga cerita di kirab ini bisa disrbarluaskan agar makin banyak wisatawan mancanegara datang ke sini,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu turis dari Thailand, Nima Sulong mengaku sudah tahu ada pahlawan emansipasi wanita di Indonesia. Karena itu, dia penasaran ingin tahu, seperti apa warga lokal menghargai perjuangan RA Kartini.
“Ternyata ada upacara adat khusus. Upacaranya sangat menarik karena banyak masyarakat yang terlibat. Ada lampion, ada tarian, bagus,” terangnya.
Dia bersama 9 turis lain keliling ke Rembang, Pati, dan Kudus selama tiga hari, Sabtu-Senin (20-22/4/2019). Mereka mengikuti famtrip Jateng on The Spot dari Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng untuk mengunjungi sejumlah destinasi wisata dan atraksi budaya. (*)
editor : ricky fitriyanto