in

Siswa SMP Diajari Buat Candi di Museum Glagah Wangi

Jika tahun ini,para siswa diajari buat candi, maka tahun depan siswa akan diajari membuat wayang dari rumput

Para pelajar SMP belajar bersama cara membuat candi zaman dulu di museum Demak. (istimewa)

DEMAK (jatengtoday.com) – Para siswa SMP di Demak memanfaatkan kunjungan spesial ke Museum Glagah Wangi. Di museum yang dikelola Bidang Kebudayaana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Pemkab Demak ini, mereka dibekali keterampilan dan pengetahuan tentang teknik pembangunan candi di masa lalu.

Kabid Bidang Pembiaan Kebudayaan Dindikbud, Endra Faturahhman melalui Stafnya Widodo mengatakan, jika siswa SD diajari bagaimana merawat kertas yang sudah rusak, maka siswa SMP yang berkunjung ke museum diajari pembuatan bangunan candi.

“Kita melayani para siswa SMP untuk belajar bersama di museum. Sebelumnya, MKKS SMP telah menjadwalkan para siswa ini untuk berkunjung ke museum ini. Tujuannya adalah belajar bersama,” katanya.

Menurutnya, di museum itu, dikenalkan bagaimana pembelajaran yang dilakukan mengacu pada hal-hal yang secara umum dipelajari termasuk soal sejarah.

“Kita kenalkan apa saja yang ada di museum ini. Kita kenalkan potensinya secara umum. Kalau potensi khusus terkait perkembangan agama Islam biasanya di Museum Masjid Agung,” katanya.

Dia menambahkan, ada dua museum yang secara khusus menjadi jujukan pengunjung. Yaitu, Museum Masjid Agung Demak dan Museum Glagah Wangi.

“Kalau Museum Masjid Agung untuk para peziarah. Sedangkan, untuk Museum Glagah Wangi kita khususkan untuk belajar para siswa,” paparnya.

Di Museum Glagah Wangi, para siswa dapat belajar tentang perkembangan sejarah agama lain selain Islam. Seperti agama Hindu, Buddha dan lainnya. Juga bisa menggali peninggalan sejarah seperti koleksi zaman Belanda.

“Mereka kita jadwalkan. Untuk siswa SMP ini mereka kita ajari buat candi. Dulu, candi dibangun tidak pakai perekat telur.  Namun dengan perekat yizid. Yaitu, sejenis campuran debu. Sehingga bisa nempel di material candi,” katanya.

Dalam praktik pembuatan candi ini, para guru juga ikut praktik. Mereka bersama-sama membuat dasar candi. Cara membuat candi ini kemudian dilanjutkan oleh siswa lainnya yang juga dijadwalkan berkunjung ke museum.

Secara teknis, siswa belajar mencari debu dari museum. Debu itu kemudian diayak biar halus. “Gurunya juga ikut bikin. Tujuannya, kalau anak lupa, guru bisa membetulkan. Guru ikut praktik,” kata dia.

Jika tahun ini para siswa diajari buat candi, maka tahun depan siswa akan diajari membuat wayang dari rumput . “Kita turut bersemangat karena bapak ibu guru juga ikut praktik. Jadi, tidak sekadar ikut mendampingi saja,” ujarnya.

Widodo menambahkan, pentingnya anak didik dan guru belajar bersama di museum itu agar suatu saat mereka bisa belajar mandiri. Dengan demikian, tidak perlu ada bimbingan lagi dari pihaknya. Karena itu, saat belajar bersama, para siswa dan guru diberikan bahan praktik yang bisa dijangkau.

Menurutnya, siswa SMP diberikan pembelajaran buat candi karena mereka telah memasuki tahapan ingin tahu segalanya. Karena itu, mereka diberikan pelajaran yang agak menantang, termasuk cara membuat candi.

“Kita sebelumnya juga telah belajar banyak dengan teman-teman arkeologi di Candi Prambanan dan Borobudur. Mereka kita tanya bagaimana sebenarnya cara menempelkan batu-batu candi agar bisa tertumpuk dengan baik,” katanya.

Dia mengatakan, anak didik harus tahu sejarah dan harus tahu pula bagaimana proses pembuatan candi sebagai bagian dari sejarah itu bisa dipraktikkan saat sekarang.

“Di sinilah pentingnya belajar bersama di tempat yang bersejarah. Apapun bisa digali dan dikembangkan. Termasuk dalam menggali dan membuat candi yang dulu kala pernah dipraktikkan oleh para leluhur. Ini adalah bagian dari pembumian ilmu yang bisa ditularkan secara turun temurun kepada generasi muda lainnya,” jelasnya. (*)

Ajie MH.