Selain itu, dalam kasus tindak pidana korupsi harus ada niat jahat dan unsur kesengajaan.
Dalam kesempatan itu, penasehat hukum terdakwa mengklaim bahwa tindakan terdakwa dalam mengelola Kasda sudah sesuai dengan SOP. Bahkan, pihaknya menganggap bahwa perbuatan penyimpangan (sebagaimana yang didakwakan) belum diatur dengan jelas dalam SOP.
Menanggapi hal tersebut, Edward menegaskan bahwa hal-hal yang tidak diatur di dalam SOP, bukan berarti boleh dilakukan atau sebaliknya. “Maka ukuran itu bisa dilakukan atas dasar apakah tindakan tersebut bertentangan dengan hukum atau tidak,” tandasnya.
Sementara itu, ahli dari BPK, Eko Andi Purnomo menyebutkan, kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus tersebut mencapai Rp 26,7 miliar. Dari jumlah tersebut telah dilakukan pengembalian sejumlah Rp 4,9 miliar. Sehingga sisa kerugian yang belum dikembalikan yakni Rp 21,7 miliar.
“Pengembalian tersebut, pertama melalui setoran tunai Bank BTPN senilai Rp 3 miliar. Kemudian, melalui deposito di Bank BTPN sebesar Rp 400 juta. Dan ada 27 kali transfer dari bank senilai kurang lebih Rp 1 miliar,” beber Eko.
Terdakwa Dody didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetorkan uang kepada Dyah Ayu sejak 2008 hingga 2014. Padahal Dyah Ayu yang sebelumnya menjadi personal banker BTPN sudah tidak bekerja di tempat tersebut.
Karena itu, Dody didakwa melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 junto Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagai dakwaan primer. Perbuatan terdakwa juga diatur dalam Pasal 3 pada undang-undang yang sama.
Sementara Dyah Ayu sendiri sudah menjalani hukuman selama 2 tahun. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepadanya selama 9 tahun penjara. Sementara itu, terpidana lainnya, Suhantoro divonis 2 tahun 6 bulan oleh majelis hakim. Suhantoro adalah pengganti Dody Kristyanto sebagai Kepala UPTD Kasda pada Bapenda Semarang. (*)
editor : ricky fitriyanto