SEMARANG (jatengtoday.com) – Ratusan ribu hektar lahan yang dimiliki Prabowo dengan status Hak Guna Usaha (HGU) ramai jadi bahan perbincangan setelah Debat Capres, beberapa waktu lalu. Bagaimana capres nomor urut 02 ini bisa mendapat lahan seluas itu?
Menurut Pakar Agraria dan Tata Ruang, Widhi Handoko, lahan dengan status HGU merupakan risiko dari ruwetnya masalah agraria. Hal itu terjadi sejak peninggalan Hindia Belanda dulu. Aturan itu bisa dilihat dari lahirnya PP No 24 Tahun 1997 pengganti PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
“Aturan tersebut telah mengebiri dan melegalkan pemaknaan hak atas tanah yang berujung terjadi pembiasan dan bahkan pembusukan makna dan berakibat fatal dalam penguasaan tanah. Ada kesengajaan untuk memberlakukan lagi asas domaein verklaring dengan gaya dan cara yang tersembunyi dan dilegalkan dalam peraturan pemerintah pelaksana UUPA. Seperti PP No 10 Tahun 1961 atau PP No 24 Tahun 1997 juga PP No 40 Tahun 1996,” ucapnya, Rabu (20/2/2019).
UUPA dan semangat land reform (reforma agraria), lanjutnya, hanyalah isapan jempol. Semua presiden, tidak terkecuali era Presiden Jokowi, kurang memahami land reform dengan baik. Presiden yang lalu tidak ada keseriusan namun presiden Jokowi serius, tetapi tidak begitu memahami persoalan reforma agraia dan Menteri ATR/BPN juga tidak memahami persoalan agraria dengan baik.
UUPA sendiri sudah lama terpinggirkan, implementasi dan aturan turunannya tidak sinkron dengan semangat reforma agraria. Dia mencontohkan Pasal 2 UUPA diimplementasikan dalam PP 24 th 1997 khususnya pada Pasal 1 ayat (4) dimana hak menguasai negara atas tanah dapat diberikan kewenangannya pada pihak lain. Kemudian pihak lain tersebut dimaknai bias, karena bisa bermakna swasta secara holistik. Pemahaman pihak lain terlalu luas atau komprehensif. Sehingga tidak sejalan dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Pemberian hak atas tanah tersebut juga diimplementasikan secara arogansi oleh peraturan turutannya. Sebut saja misalkan pemaknaan Pasal 28 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), diterjemahkan oleh PP No. 40 Th 1996, juga PP No. 24 Th 1997. Bahkan sampai saat inipun masih dilegalkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU. Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang berkedudukan di Indonesia boleh mengajukan HGU minimal 5 hektare untuk perorangan dan 25 hektare untuk badan hukum.
“Tapi anehnya tanpa ada pembatasan maksimal. Hal inilah yang sudah sering saya sampaikan dan juga tulisan saya bahwa negara telah merampok hak-hak atas tanah rakyat, dengan menggunakan aturan pelaksanaan UUPA yaitu PP No. 40 th 1996 dan PP No. 24 th 1997 pengganti PP No. 10 th 1961. Kedua PP tersebut jelas masih menganut asas domaein verklaring,” paparnya.
Asas untuk menguasai hak-hak atas tanah rakyat inipun melegalkan perampokan tanah rakyat sejak Hindia Belanda. Sebagai contoh HGU yang dimiliki perusahaan Prabowo. Atas hal itu sebenarnya bukan salah Prabowo atau perusahaannya.
“Yang tidak benar adalah aturannya, karena aturannya tidak melarang dan tidak ada pembatasan maksimal penguasaan HGU. Bahkan jika Prabowo atas nama perusahaannya ingin menguasai seluruh HGU tidak ada larangan. Hanya masalahnya menjadi tidak konsisten ketika seorang calon pemimpin menguasai sebesar itu atas HGU. Padahal rakyat membutuhkannya sebagai kebutuhan primer,” tegasnya.
Dosen Undip Semarang ini mengaku sering mengkritisi jika itu perampokan hak atas tanah negara yang dilakukan sendiri oleh negara dengan model asas domain varklaring model baru. “Yang mana zaman Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam VOC telah mendapatkan keuntungan dengan asas domaein verklaring. Yaitu pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang rakyat (orang) tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara,” ujarnya.
Menurut dia, kelemahan kebijakan reforma agraria sangat masif dan banyak. “Jika saya ungkap kebijakan agraria dan tata ruang di negara kita ini banyak sekali, sayangnya pemangku pemerintahan tidak inovatif sehingga tidak mempunyai gagasan dan solusi yang jitu. Saya contohkan tentang sertifikasi yang menjadi program Pak Jokowi, itu terlalu beresiko dan terlalu lama “jadul.” Jika saya Menteri ATR hanya sekejab mata saya dapat merubah dengan sistem baru sekaligus saya jalankan reforma agraria,” tuturnya. (*)
editor : ricky fitriyanto