SEMARANG (jatengtoday.com) – Program Pemprov Jateng mewujudkan seribu embung terganjal UU tentang Desa. Pasalnya, kebanyakan masyarakat mengajukan tanah kas desa untuk dialihfungsikan menjadi embung. Padahal, sesuai UU, tanah kas desa tidak bisa dibebaskan, tapi harus diganti lahan yang lokasinya masih satu wilayah desa.
“Kami kesulitan untuk mencari lahan yang bisa ditukarguling. Prosesnya pun sangat lama,” ucap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Dumber Daya Air, dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jateng, Lukito.
Dijelaskan, pembangunan embung bisa dibilang prioritas saat memasuki musim penghujan. Sebab, air hujan yang ditampung di embung bisa digunakan untuk air cadangan saat musim kemarau mendatang.
Sebagai upaya percepatan, pihaknya mencoba mencari lahan warga yang bisa dibebaskan. Selain itu, mencari tanah milik negara agar proses alihfungsi lahan tak memakan waktu.
“Kami sudah berupaya membangun embung diatas tanah negara maupun memperbaiki telaga-telaga di pedesaan, dan pembebasan tanah milik masyarakat juga lebih mudah,” bebernya.
Dijelaskan, selama 2018 ini, Pusdataru baru menuntaskan 75 embung. Rencananya, hingga akhir tahun mendatang, bisa dibangun 6 embung lagi. Difokuskan di wilayah yang pertengahan tahun lalu dilanda kekeringan parah. Seperti Wonogiri dan Rembang.
“Tahun depan kami targetkan membangun 22 embung dari APBD provinsi. Setiap embung butuh sekitar 1 hektar lahan dengan anggaran Rp 2,5 per embung. Semoga bisa direalisasi,” harapnya.
Dari datanya, sudah ada 1.090 embung yang tersebar di seluruh penjuru Jateng. Embung itu dibangun pemerintah pusat, dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). (*)
editor : ricky fitriyanto