YOGYAKARTA (jatengtoday.com) – Empat warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, kembali menggugat pemerintah Republik Indonesia—yang dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum—disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (30/11/2023).
Pemerintah yang bersikeras menetapkan lokasi tambang batu andesit di Desa Wadas dinilai menyebabkan para penggugat kehilangan tanah dan terancam bencana akibat kerusakan lingkungan akibat proses penambangan itu.
Empat warga Wadas tersebut masing-masing; Priyanggodo, Talabudin, Kadir dan M Nawaf Syarif. Para penggugat didampingi oleh 12 pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diketuai oleh Trisno Raharjo, dosen Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Sedangkan pihak pemerintah yang digugat dalam hal ini adalah Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, Presiden Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Gubernur Jawa Tengah.
Agenda sidang perdana yang dipimpin oleh hakim Asni Meriyanti ini adalah pemeriksaan para pihak.
“Tambang batu andesit di Desa Wadas bukan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN), sehingga tidak bisa diberlakukan dengan menggunakan UU Pengadaan Tanah,” ungkap kuasa hukum warga Wadas, Trisno.
Dalam materi gugatan, tim LBHAP antara lain menyatakan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah untuk tambang bukan termasuk kepentingan untuk umum. Selain itu, masa penetapan lokasi tambang yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah sejak 2018 dan sempat diperpanjang hingga tiga kali dianggap melanggar hukum karena berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2012, perpanjangan hanya bisa dilakukan sekali saja.
“Dengan demikian para tergugat telah terbukti melawan hukum,” tulis tim LBHAP dalam gugatannya.
BACA INI: Akademisi: Kekacauan Berpikir Pemerintah dalam Kasus Wadas
Tim pembela warga Wadas meminta majelis hakim menerima dan mengabulkan seluruh gugatan. Selain itu, Kepala BBWSSO dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dalam proses pengadaan tanah sebagai perbuatan melawan hukum, meminta kepada seluruh tergugat untuk menghentikan proses pengadaan tanah dan memindahkan lokasi tambang andesit dari Wadas, serta memberikan ganti rugi kepada para penggugat baik material dan im-material dengan total Rp 53,8 miliar.
Salah satu penggugat, Kadir, mengatakan tambang di Desa Wadas tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. “Akses pembukaan jalan ke lokasi tambang di Wadas sudah menyebabkan beberapa kali banjir dan air menjadi keruh,” katanya.
Selain itu kebijakan pemerintah soal tambang ini juga mengakibatkan konflik sosial di Wadas. Sebab, lanjut dia, harmoni sosial di Wadas rusak karena warga terbelah antara yang pro dan kontra tambang.
“Kondisi ini menyebabkan warga Wadas tidak bisa hidup sejahtera lahir dan batin di desanya,” tambah Kadir.
BACA JUGA: Warga Wadas Tolak Tandatangani Dokumen Pelepasan Tanah
Seorang perempuan dari Wadas (Wadon Wadas), Priyan Susyie, mengaku mendukung langkah suaminya, Priyanggodo untuk melakukan gugatan karena ia tidak ingin tanahnya dirampas oleh negara. Ia ingin mempertahankan tanahnya agar bisa diwariskan kepada anak-cucu.
“Saya punya hak atas tanah saya dan akan kami perjuangkan sampai kapan pun,” tegasnya.
Seperti diketahui, masalah ini bergulir sejak 2018, ketika Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Ganjar Pranowo yang kini menjadi salah satu Capres RI menetapkan lokasi pertambangan batu andesit di Desa Wadas. Beberapa minggu menjelang lengser, Ganjar kembali mengeluarkan Izin Penetapan Lokasi (IPL) baru.
Batu andesit ini akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo yang berstatus sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sejak awal, warga Wadas yang tergabung dalam Gempa Dewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas) menolak lokasi tambang di Wadas karena mengancam pekerjaan warga sebagai petani. Lokasi tambang di perbukitan bagian atas dinilai berpotensi menyebabkan bencana seperti banjir, tanah longsor, dan hilangnya sumber air.
Namun pemerintah terus memaksa warga menyerahkan tanahnya untuk areal tambang seluas 114 hektar.
Bahkan Pemerintah melakukan aksi kekerasan fisik, ancaman, teror konsinyasi, dan rayuan ganti rugi yang besar untuk meruntuhkan pendirian warga. Empat warga yang melakukan gugatan ini adalah sedikit dari warga Wadas yang masih konsisten menolak tambang andesit dan menyerahkan tanahnya.
Sidang selanjutnya akan dilanjutkan pada 11 Desember 2023 dengan agenda mediasi. (*)