PURWOREJO (jatengtoday.com) – Polemik penggusuran warga Desa Wadas, Purworejo Jawa Tengah akibat adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener dan penambangan batu andesit, mengundang Akademisi Peduli Wadas untuk menyampaikan kritik tajam.
Pasalnya, Pemerintah Jawa Tengah justru menyebarkan rilis—yang dimuat di berbagai media besar dan menyebut bahwa persoalan Wadas telah selesai.
Padahal warga Wadas sendiri hingga saat ini mengaku dalam kondisi terintimidasi karena dipaksa untuk mengikuti alur yang disiapkan oleh pemerintah secara sepihak. Warga penolak tambang andesit tetap tidak mau melepaskan tanahnya.
Mereka saat ini terancam Konsinyasi, yakni penitipan ganti kerugian ke pengadilan negeri meskipun warga menolak melepas tanahnya. Maka dari itu, para peneliti dari berbagai kampus bersolidaritas membantu mengurai persoalan yang membelit warga Wadas tersebut.
Dr. Herdiansyah Hamzah, dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman melihat adanya kekacauan cara berpikir pemerintah dalam menggunakan instrumen kekuasaannya. Pertama, mengenai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) Bendungan Bener Purworejo.
“Dari awal ketika teman-teman akademisi membedah Amdal Bendungan Bener Purworejo itu sudah aneh. Bagaimana mungkin, satu Amdal, satu induk dengan dua kegiatan yakni Bendungan Bener dan tambang batu andesit? Ini tidak logis,” katanya dalam Siaran Pers yang dilakukan secara daring, Selasa (5/9/2023).
Kekacauan berpikir pemerintah yang kedua adalah penambangan batu andesit di Desa Wadas tidak memiliki izin. “Bagaimana mungkin sebuah penambangan tidak berizin? Padahal ketika aktivitas pertambangan tidak dilakukan izin, maka itu dikualifikasikan sebagai kejahatan,” terangnya.
Ketiga, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurutnya, perspektif pemerintah dalam memandang Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah salah kaprah.
“Pasal 10 UU a quo secara eksplisit menyebutkan bahwa pertambangan itu tidak masuk dalam kualifikasi object pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” bebernya.
Keempat, kekacauan dalam memandang hak-hak warga negara. Terlihat jelas bahwa dalam kasus Wadas, bahwa pemerintah telah mengabaikan hak warga negara.
“Saya ambil contoh soal partisipasi. Pemerintah betul-betul menutup mata terhadap keluhan warga Desa Wadas. Surat dari Kantor Pertanahan Purworejo itu bukan pertama kali. Upaya intimidasi warga Wadas kerap dilakukan. Bahkan pemerintah ini konsisten menindas. Sedangkan warga Wadas konsisten memperjuangkan ruang kehidupan,” katanya.
BACA JUGA: Gempadewa Desak Ganjar Hentikan Penambangan Batuan Andesit di Wadas
Ketua Pusat Kajian Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Rikardo Simarmata mengatakan bahwa proses pengadaan tanah itu tidak bisa sembarangan.
“Karena ini mau mencabut hak properti warga negara (tanpa suka rela). Sesuatu yang oleh konstitusi—pada saat yang sama—diminta untuk dilindungi negara,” terangnya.
Merujuk Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 18 mengatur tentang pencabutan hak atas tanah—sekarang diperhalus menjadi pengadaan tanah—disebutkan bahwa pemberian ganti kerugian yang layak adalah salah satu syarat dalam proses pengadaan tanah.
“Maka tindakan pemerintah hanya berkonsentrasi kepada ganti kerugian sebagai syarat. Ini keliru. Syarat lain yang harus diperhatikan adalah proses untuk menentukan bentuk dan besaran ganti kerugian,” katanya.
Jangan kemudian pemerintah menyiapkan ganti kerugian yang nilainya berlipat-lipat, kemudian dianggap selesai. “Itu cara memaknai UU Pokok Agraria yang simplistik. Sementara konstitusi meminta negara untuk melindungi hak-hak keperdataan warga negara,” imbuh dia.
Menurutnya, ada beberapa proses dalam kegiatan pengadaan tanah di Wadas yang mengandung cacat formil. “Di suatu sisi, pemerintah memberikan kesempatan kepada warga pemilik tanah untuk menyampaikan pendapat atau keberatannya. Tetapi rezim pengadaan tanah ini memperkenalkan proses musyawarah untuk mencapai mufakat atau konsensus,” ungkapnya.
Salah satu contohnya, lanjut dia, dalam proses penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL). “Di situ dikatakan—menurut regulasi—bahwa mereka yang diundang dalam konsultasi publik tersebut untuk menyepakati soal lokasi pengadaan tanah. Kalau yang diundang itu tidak sepakat bisa mengajukan keberatan,” katanya.
Tahap selanjutnya musyarawah. Lagi-lagi, kata dia, musyawarah diadakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besaran ganti rugi. “Saat orang tidak setuju atau tidak menerima dalam musyawarah, tidak mau tanda tangan, itu tidak bisa menjadi alasan bagi pelaksana pengadaan tanah untuk menghentikan proses,” terangnya.
Jadi, orang yang tidak setuju apabila tidak mengajukan gugatan di pengadilan, maka dianggap setuju. “Pada kasus Wadas, apakah keberatan-keberatan warga ditindaklanjuti atau tidak, kalau tidak ditindak-lanjuti berarti ada persoalan di situ,” katanya.
Menakut-nakuti masyarakat
Pada kasus Wadas, masih kata Rikardo, telah muncul kalimat di surat yang dibuat oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo yang mengatakan apabila masyarakat tidak mau hadir dalam musyawarah penyampaian hasil inventarisasi dan identifikasi, maka akan dikonsinyasi.
“Surat itu dikeluarkan pada saat musyawarah belum dilakukan. Padahal menurut regulasinya, konsinyasi itu baru boleh disampaikan apabila telah dilakukan musyawarah,” terangnya.
Maka makna atau implikasi konsinyasi yang disebut sebelum musyawarah itu mengandung maksud menakut-nakuti masyarakat. “Itu menggambarkan bahwa terjadi cacat formil dalam kasus Wadas,” katanya.
Penundukkan Warga melalui Kekuasaan Negara
Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Rina Mardiana, mengatakan bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan menggunakan instrumen kebijakan Negara dan melakukan pengerahan aparatus Negara.
“Dampaknya terjadi krisis sosio agraria-lingkungan terhadap konflik sosial vertikal dan horizontal di masyarakat. Proses pengadaan tanah atas nama pembangunan yang berlangsung di Wadas telah memicu kontestasi antara Negara versus Rakyat,” katanya.
Negara menggunakan kuasa eksklusi melalui modal kekuasaan kultural, kapital, dan simbolik. Sementara warga Wadas berjuang melawan Negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif warga/komunitas.
“Penundukkan warga melalui kekuasaan Negara telah sukses mendulang peralihan lahan dari tangan rakyat ke negara,” katanya.
Warga yang takluk itu selanjutnya disebut sebagai pihak pro. “Sementara warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah-air mereka, disemati stigma kontra,” ujar Rina.
Padahal, sejak isu pertambangan batu andesit ditetapkan sepihak oleh Negara, serentak warga Wadas yang bekerja di sektor pertanian, baik yang memiliki lahan pertanian ataupun tidak, seluruhnya tegas menyatakan penolakan atas tambang.
“Namun kepiawaian jaringan pemrakarsa Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam mengendalikan opini dan media, telah menggerus sendi-sendi sosial kemasyarakatan warga Wadas, yang membenturkan kelompok pro dan kontra tambang. Sehingga konflik horizontal tak terhindarkan,” katanya.
Layaknya Penjajah
Menurutnya, strategi memecah belah keguyuban warga Wadas sebagai satu kesatuan entitas sosial semacam ini merupakan strategi kuno yang lahir dari era kolonial. “Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah di masa kini kita menjajah diri kita sendiri?”
Secara vertikal, lanjut dia, konflik agraria-lingkungan di Wadas menjadi pemicu terjadinya ketidakpercayaan Rakyat pada kerja-kerja pemerintahan yang sepihak. “Kesan ini tergambar kuat di warga, dalam imajinasi warga, pemerintah layaknya penjajah, maka mereka harus berjuang untuk mempertahankan tanah-air Wadas,” katanya.
Praktik kekuasaan Negara atas nama pembangunan semacam ini telah menggerus kepercayaan Rakyat akan keadilan hukum sebagai akibat adanya “rasa” bahwa merekalah yang terdampak pelanggaran hukum.
“Ruang hidup dan sumber nafkah warga Wadas terguncang, bahkan kondisi banjir dan hilangnya sumber mata air menjadi konsekuensi logis yang terjadi di Wadas hari ini di mana dampak itu menimpa siapa pun warga Wadas, baik mereka yang distigma kontra maupun pro,” imbuhnya.
Warga Merasa Dipaksa
Salah satu warga Wadas, Budin membenarkan bahwa telah terjadi pemaksaan yang dilakukan oleh pihak pemerintah saat ini. “Kami (terpaksa) menandatangi di kelurahan karena tidak ada pilihan. Mau tidak mau, kami disudutkan. Akhirnya menandatangi daftar hadir dan daftar pembatas tanah masing-masing pemilik lahan,” katanya.
Sementara Siswanto, warga Wadas yang lain mengatakan bahwa ia mengaku bingung harus berbuat apa. Ia kerap menerima surat dari kantor pertanahan. “Beberapa waktu lalu, kami menerima surat bahwa akan dilakukan invent dan ident. Kami bingung terhadap apa yang harus kami putuskan. Surat kami terima, akhirnya petugas pertanahan melakukan pengecekan tanah,” katanya.
Tidak hanya itu, ia kembali menerima surat penyampaian hasil invent dan ident. Tetapi ia menolak memenuhi undangan tersebut. Berikutnya datang lagi surat selanjutnya, yakni surat musyawarah penetapan bentuk ganti rugi dan penetapan besaran.
“Musyawarah penyampaian hasil invent dan indent saja kami tolak, seharusnya tidak ada tahap musyawarah lanjutan. Tetapi pemerintah tetap jalan ke tahap-tahap selanjutnya. Yang tertera di undangan itu, hadir atau tidak, dianggap setuju,” ujar dia.
Dikatakannya, kondisi warga Wadas hingga hari ini, secara sikap terus berjuang melawan ketidakadilan. “Namanya rakyat kecil, kami hanya bisa menerima undangan-undangan yang mereka lakukan. Kami secara lahir batin tetap kuat berjuang, ingin supaya Wadas tidak ada tambang atau rencana pemerintah itu terhenti,” tegasnya.
Saat ini, lanjut Siswanto, masih ada satu tahapan lagi yang akan dilakukan pemerintah, yakni pelepasan hak dan penerimaan ganti rugi. “Di sinilah, kami harus berpikir betul mengenai apa yang akan kami lakukan. Karena ini puncak apakah warga Wadas menang atau kalah,” katanya. (*)