SEMARANG (jatengtoday.com) – Kebijakan Pemerintah yang memberi “penugasan” kepada Bulog untuk mengimpor bawang putih disorot berbagai pihak. Sejumlah pihak menilai kebijakan “Diskresi” atau “keistimewaan” yang diberikan Pemerintah kepada Bulog memicu persaingan tidak sehat.
Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, Bulog bisa mengimpor 100 ribu ton bawang putih tanpa harus kembali menanam 5 persen sesuai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017.
“Pemberian ‘Diskresi’ ini rentan memicu persaingan tidak sehat antara importer bawang putih dengan perusahaan BUMN ini.
Bahkan kebijakan seperti itu membuat pihak swasta yang hidupnya bergantung pada usaha di bidang impor bisa mati,” katanya, Kamis (21/3/2019).
Jika ingin melihat persaingan usaha serta pertumbuhan ekonomi yang sehat pula, menurut dia, Pemerintah harus mencabut atau membatalkan pemberian ‘diskresi’ kepada Bulog untuk impor bawang putih.
“Kebijakan seperti itu jelas tidak sehat. Seharusnya BUMN tidak boleh seperti itu. Kalau Pemerintah begitu caranya, bikin saja BUMN sebanyak-banyaknya, swasta dimatikan. Belum lagi bagaimana nasib petani bawang putih lokal nantinya,” beber dia.
Dia melihat, kebijakan tersebut secara otomatis akan semakin menyengsarakan pihak swasta dan petani. “Karena tidak adanya subtitusi penanaman bawang dari proses impor yang sebenarnya sudah diatur dalam Permentan Nomor 8 tahun 2017 dan selama ini diwajibkan kepada importer. Saya, bahkan juga minta kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman RI untuk menyelidiki, ada apa di balik kebijakan yang tidak sehat ini,” tandasnya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah menilai, impor 100 ribu ton bawang putih oleh Bulog adalah langkah terpaksa, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang hampir 90 persen impor.
Buntut dari kebijakan ini, lanjut dia, memang memunculkan berbagai ketidakpuasan dan kecemburuan dari kalangan pengusaha terhadap ‘keistimewaan’ tidak wajib tanam yang diberikan kepada Bulog.
“Kalau Bulog kemudian impor dan tidak dikenakan kewajiban tanam 5 persen, importer yang merasa tidak puas bisa saja mengadu ke World Trade Organization (WTO). Hal ini seperti ini pernah terjadi pada importer susu. Saat itu, importer susu juga dipaksa untuk bermitra dan ini dianggap sangat membatasi mereka,” ungkapnya.
Importer susu membawa persoalan tersebut ke WTO karena dampak persaingan usaha yang tidak sehat. Namun demikian, lanjut Rusli, industri susu memang berbeda dengan bawang, karena kebutuhannya lebih tinggi dan terkait protein. “Namun jika kebutuhan bawang putih terus meningkat, bukan tidak mungkin para importer melapor ke WTO,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto