SEMARANG (jatengtoday.com) – Pro kontra kebijakan pemerintah mengenai impor bawang putih yang “diistimewakan” kepada Bulog kian menjadi sorotan.
Kebijakan mengistimewakan Bulog untuk mengimpor bawang putih tanpa kewajiban menanam 5 persen dari total volume impor dinilai salah kaprah. Sebab, kebijakan itu mengakibatkan banyak pihak dirugikan.
Bahkan kebijakan itu dipandang memicu terjadinya skandal rente ekonomi yang menguntungkan segelintir orang di kalangan birokrasi. Rente merupakan selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” birokrasi dengan jumlah yang dibayar oleh penerima rente kepada perorangan di birokrasi pemerintah.
Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bahkan menilai hal ini bertendensi terjadi pelanggaran persaingan usaha. Alih- alih bisa menstabilkan harga, hak konsumen untuk mendapat harga lebih murah dipertaruhkan.
“Bawang putih itu apa harus semua diurusi pemerintah? Saya justru curiga kalau itu dilakukan pemerintah hanya motif rente-rente ekonomi,” kata peneliti INDEF, Sugiyono Madelan, saat dikonfirmasi Minggu (23/3/2019).
Dikatakannya, perlakuan istimewa terhadap BUMN, dalam hal ini Bulog, justru membuat persaingan usaha menjadi rusak. Diskresi apapun terhadap BUMN secara umum, semestinya tidak boleh terjadi.
“Kebijakan itu justru menepiskan kesempatan untuk mencari keunggulan komparatif dan kompetitif dari suatu komoditas atau produk. Padahal kedua keunggulan tersebut baru bisa diperoleh apabila terjadi persaingan usaha yang sehat,” terangnya.
Seharusnya, pemerintah memberikan ruang persaingan usaha secara sehat. Sehingga produk yang berkualitas bagus bisa masuk.
Hambatan ini dikarenakan jatah untuk swasta bersaing menjadi berkurang. Sebaliknya, ini bisa menguntungkan pihak tertentu, jika kemudian Bulog menunjuk pihak lain sebagai perpanjangan tangan.
“Nanti kan swasta yang tidak leluasa mendapatkan impor kan belinya juga dari Bulog. Termasuk yang dulu- dulu kan juga begitu,” jelasnya.
Kemungkinan lain, lanjut Sugiyono, diskresi kepada Bulog ini sangat rentan mendapatkan protes keras dari dunia internasional. Dikatakannya, permasalah serupa dulu pernah terjadi. Jelang reformasi Bulog sempat mengurusi berbagai impor komoditas.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan penugasan kepada Bulog jangan malah justru menjadi monopoli terhadap impor komoditas bawang putih.
“Swasta juga mesti mendapat kesempatan secara adil, agar tercipta situasi persaingan usaha secara sehat. Supaya harga itu juga bisa kompetitif,” kata dia.
Lebih lanjut, kata dia, tidak hanya untuk komoditas bawang putih, ia melihat perlakuan serupa terhadap cara Kementerian Pertanian (Kementan) mengeluarkan izin impor bagi komoditas lain. “Selalu begitu. Terjadi di komoditas jagung juga begitu,” keluhnya.
Jika peran swasta dikecilkan, maka dampaknya akan mempengaruhi sistem perekonomian bangsa. “Semestinya, tidak semua harus dilakukan oleh BUMN. Swasta harus diberikan peran juga. Kalau perlu dilelang saja, siapa yang paling mampu, paling murah, paling cepat, dan paling berkualitas,” kata.
Anggota Komisi VI DPR RI, Nasril Bahar menilai telah banyak pengusaha gulung tikar atau merampingkan perusahaannya. Ini dampak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada peran swasta, tetapi dominan mengurusi BUMN. “Jika kebijakan seperti ini tetap dipaksakan, tentu akan membuat citra pemerintah buruk. Ada yang aneh dari kebijakan impor 100 ribu ton ke Bulog. Setahu saya, Bulog tidak punya kemampuan finansial untuk melakukan hal seperti ini. Jadi, bisa saja cukongnya si A, tapi pelakunya si B. Ini yang perlu dipelajari,” ujarnya. (*)
editor : ricky fitriyanto