SEMARANG (jatengtoday.com) – Pembentukan tim seleksi (timsel) penerimaan pegawai di PDAM Kabupaten Kudus ternyata hanya formalitas. Timsel tidak difungsikan secara maksimal dan semua keputusan tetap berada di tangan Direktur Utama PDAM Ayatullah Humaini.
Keterangan itu terungkap dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi PDAM Kudus yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (29/9/2020). Jaksa penuntut umum Kejati Kudus dan Kejati Jateng menghadirkan dua orang saksi.
Salah satu saksi, Kepala Bagian Teknik PDAM Kudus Teguh Sanggar Cahyono menerangkan, dirinya pernah mendapat surat tugas untuk menjadi anggota timsel. Tapi dia bingung lantaran tidak pernah mendapat arahan sama sekali.
“Nggak pernah diperintah apapun. Jadi ya saya nggak bekerja atas penunjukan timsel itu,” jelasnya.
Saksi lain, Kepala Bagian Administrasi dan Keuangan PDAM Kudus Armi Lunita juga memberi keterangan serupa. Usai ditunjuk sebagai anggota timsel, tidak pernah ada rapat resmi atau semacam pertemuan. Namun, dia tetap terlibat meskipun tak maksimal.
Akhirnya, Armi hanya bekerja sesuai tugas yang melekat di jabatannya di PDAM, yakni mengurusi seputar administrasi seperti menginventarisir lamaran pegawai yang masuk.
Menurutnya, seleksi pegawai dilakukan pada 2018 dan 2019. Biasanya ada beberapa tahapan kepegawaian di PDAM Kudus. Mulai dari pegawai outsourcing, pegawai kontrak, calon pegawai tetap, dan baru bisa menjadi pegawai tetap.
“Tapi bisa saja orang yang melamar langsung menjadi calon pegawai tetap tanpa melalui tahap sebagai outsoursing dan kontrak. Sesuai perekrutannya,” papar Armi.
Sepengetahuannya ada calon pegawai yang secara persyaratan tidak memenuhi tetapi tetap diloloskan.
Sebagai informasi, kasus dugaan korupsi di PDAM Kudus ini menyeret tiga terdakwa. Yakni Kepala Seksi Kepegawaian PDAM Kudus Toni Yulantoro; Direktur Utama PDAM Kudus Ayatullah Humaini; dan pihak swasta, Sukma Oni Iswardani.
Jaksa Sri Heryono mengatakan, ketiga terdakwa telah bekerja sama melakukan pungutan kepada pegawai di PDAM Kudus dengan total keseluruhan Rp720 juta. Jumlah tersebut diperoleh dari 20 orang yang akan diangkat menjadi pegawai tetap.
Pengangkatan pegawai dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar. Setiap pegawai kontrak diharuskan untuk menyetor uang Rp75 juta agar bisa diangkat sebagai pegawai tetap. Jika tidak, maka status pegawai menjadi tidak pasti. (*)
editor: ricky fitriyanto