in

Pekerja Seks Berkeliaran Pasca Penutupan Lokalisasi, Penanganannya Bagaimana? Ini Kata Dewan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Kontroversi penutupan Lokalisasi Argorejo atau Sunan Kuning (SK) Semarang tidak hanya sekadar berhenti di “setuju” atau “tidak setuju”. Sejumlah pihak justru meragukan keseriusan pemerintah terhadap tindak lanjut penanganan pasca lokalisasi terbesar di Kota Semarang tersebut ditutup.

Pasca ditutup, apakah pemerintah akan tetap melakukan pendampingan wirausaha bagi penghuni lokalisasi? Bagaimana memastikan penghuni lokalisasi tersebut tidak membuka praktik prostitusi di tempat lain?

Jika ternyata tetap melakukan praktik prostitusi di tempat lain, bagaimana mengendalikan penyebaran virus HIV/AIDS? Sedangkan mereka bebas berkeliaran di tempat lain dan tidak terpantau setelah lokalisasi ditutup.

“Prinsipnya, lokalisasi Sunan Kuning kalau ditutup saya setuju dengan catatan pemerintah sudah memikirkan solusi pasca penutupan,” kata Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Wiwin Subiyono, kepada jatengtoday.com, Sabtu (1/12/2018).

Untuk bisa mengetahui apa saja solusi yang perlu dipikirkan, maka perlu kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Sehingga pemerintah bisa mengantisipasi setiap hal atau kemungkinan dari dampak penutupan lokalisasi.

“Misalnya, pendidikan dan pelatihan wirausaha bagi para penghuni lokalisasi harus dilakukan secara maksimal. Selain itu diberikan modal usaha dan pendampingan. Istilahnya mau balik ndeso ya harus dikasih sangu atau pesangon,” katanya.

Pesangon ini menurutnya sangat penting, karena menjadi salah satu bentuk perhatian pemerintah. Yakni sebagai salah satu upaya untuk mengentaskan mereka dari “dunia gelap” beralih ke aktivitas positif seperti berwirausaha.

“Memang ini tidak sederhana. Artinya, banyak kemungkinan lain yang bisa terjadi. Misalnya mereka nanti setelah ditutup berkeliaran di tempat lain. Tapi itu adalah persoalan yang bisa ditangani selanjutnya,” katanya.

Termasuk pasca penutupan lokalisasi, para penghuni dikhawatirkan akan sulit dipantau. Akibat sulit terpantau, penyebaran virus HIV/AIDS diperkirakan juga sulit terpantau pula.

“Tapi apakah dengan kekhawatiran seperti itu kemudian praktik prostitusi seperti itu dibiarkan terus menerus? Apa lokalisasi harus dipertahankan terus? Kan tidak. Nah, kalau tidak segera dilaksanakan malah tidak terealisasi. Dolly di Surabaya yang besarnya segitu saja bisa ditutup,” katanya.

Pihaknya meminta pemerintah kota agar memikirkan sejumlah hal penting mengenai solusi maupun penanganan pasca penutupan Lokalisasi Argorejo. Maka diperlukan pemetaan masalah.

Lebih lanjut, kata Wiwin, mengenai masalah lain yang dimungkinkan terjadi pasca penutupan lokalisasi, misalnya mereka melakukan praktik prostitusi di tempat lain, maupun kemungkinan penyebaran virus HIV/AIDS dan lain-lain harus ditangani terpisah.

“PSK (wanita pekerja seks) berkeliaran pasca penutupan misalnya, ataupun penyebaran HIV/AIDS dan lain-lain, itu nanti harus ada yang menangani sendiri,” katanya.

Sebelumnya, Pengamat sosial, Paskalis Abner mengungkapkan kekhawatiran atas rencana penutupan Lokalisasi Argorejo tersebut. Terutama mengenai upaya pemerintah terkait penanganan penyebaran virus HIV/AIDS pasca lokalisasi ditutup.

Sebab, praktik prostitusi berlangsung secara sembunyi-sembunyi, tentu penyebaran HIV/AIDS akan sangat tidak bisa dipantau. “Pasca lokalisasi ditutup, tapi apabila praktik prostitusi masih jalan terus di luar hingga menyebabkan potensi penyebaran HIV/AIDS tidak terpantau. Lantas, penutupan lokalisasi untuk apa?” ujarnya mempertanyakan. (*)

Editor: Ismu Puruhito