in

Miris, Jatah Makan Napi Hanya Rp 20 Ribu per Hari

“Makan tiga kali cuma Rp 20 ribu itu dapat apa? Bagaimana mereka bisa jadi lebih baik kalau gizi dari makan saja tidak tercukupi,”.

SEMARANG (jatengtoday.com) – Alokasi anggaran untuk makan warga binaan di lembaga permasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Jateng hanya Rp 20 ribu per orang per hari. Angka itu sudah naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 15 ribu per hari.

Hal itu dibeberkan Pendiri Rumah Pancasila dan Klinik Hukum di Semarang, Theodorus Yosep Parera. Dia mengaku sudah melakukan survei di sejumlah rutan dan lapas di Jateng. “Kami sudah survei di beberapa lapas di Jateng. Semuanya sama, Rp 20 ribu per hari,” jelasnya, Senin (29/7/2019).

Dia menilai, porsi makan yang hanya Rp 20 ribu per hari itu dianggap tidak memanusiakan manusia. Sebab, setiap porsi makan, nilainya kurang dari Rp 7 ribu.

“Makan tiga kali cuma Rp 20 ribu itu dapat apa? Bagaimana mereka bisa jadi lebih baik kalau gizi dari makan saja tidak tercukupi. Ini juga jadi pemicu, lapas jadi tempat berbelanja dan permainan uang,” paparnya.

Dia pun mengkritisi kebijakan nominal uang makan untuk napi tersebut. Sebab dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan sudah jelas dikatakan, warga binaan adalah insan dan SDM yang harus diperlakukan secara manusiawi.

Dijelaskan, jatah makan Rp 20 ribu itu hanya berlaku untuk napi yang mendekam di lapas. Sementara tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mendapat Rp 75 ribu per hari. Sementara tahanan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Rp 45 ribu per hari.

“Kenapa dibedakan? Apa yang membuat beda? Seharusnya, semua harus sama di mata hukum,” ucapnya.

Jika anggaran makan napi dinaikkan, tanggungan negara akan meroket. Sebab, total ada 13.670 orang yang mendekam di lapas dan rutan di Jateng. Karena itu, Yosep memberikan sejumlah opsi yang bisa dipertimbangkan sebagai solusi.

“Perlu ada perbaikan sistem pemidanaan dan pembinaan. Misalnya, pemakai narkotika tidak perlu dipenjara. Cukup direhabilitasi dengan biaya mereka sendiri. Begitu juga mereka yang melakukan pelanggaran ringan. Jadi tidak perlu disel,” tegasnya.

Selain itu, warga binaan juga bisa diberdayakan untuk kerja sosial. Menjadi tukang bersih-bersih jalan misalnya. Tentu ada upah dari hasil kerja sosial mereka. Upah itu bisa digunakan untuk menambah uang makan mereka.

Pihaknya juga berencana menggelar diskusi nasional yang melibatkan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jateng. Mereka diminta memberikan masukan mengenai masalah ini.

“Rencananya seminar diadakan di Hotel Patra Jasa Semarang, akhir Agustus besok. Sudah disediakan uang tunai dan sertifikat untuk 5 mahasiswa yang memberikan masukan terbaik,” bebernya.

Masukan dari mahasiswa tersebut, lanjutnya, akan dilayangkan ke DPR RI dan presiden untuk dijadikan patokan dalam merumuskan regulasi mengenai sistem pemidanaan ke depan.

“Ke DPRD dan Gubernur Jateng juga. Jika bisa diterapkan, Jateng akan jadi percontohan mengenai sistem pemidanaan yang baik,” tandasnya. (*)

editor : ricky fitriyanto