JAKARTA (jatengtoday.com) – Karut marut tata kelola perekrutan anak buah kapal (ABK) dari Indonesia ke kapal asing hingga kini terus berlangsung tanpa perbaikan. Perusahaan agensi penyalur ABK mengeruk keuntungan dengan cara melanggengkan praktik perbudakan di atas kapal asing.
Para ABK asal Indonesia itu menjadi korban eksploitasi selama bertahun-tahun. Mulai dari korban kekerasan fisik dan verbal, penahanan upah, tidak diberikan upah, tidak mendapatkan akses kesehatan, makan tidak layak, kerja di luar kontrak yang disepakati hingga mengakibatkan para ABK mengalami depresi, sakit hingga sejumlah ABK korban meninggal berjatuhan.
Pemerintah dinilai abai atas kondisi tersebut karena berdiam diri dan membiarkan praktik perbudakan ABK perikanan di kapal asing ini terus terjadi.
Tiga mantan ABK Indonesia tersebut, masing-masing; Jati Puji Santoso dan Rizki Wahyudi asal Jawa Tengah, serta Pukaldi asal Bengkulu. Didampingi tim kuasa hukum, Viktor Santoso Tandiasa dan Pramita Sandhi Said, mereka mendaftarkan gugatan yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (31/5/2022).
“Gugatan tersebut berisi tuntutan kepada Presiden RI untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan,” ungkap pengacara ABK, Viktor Santoso Tandiasa.
Dalam gagatan tersebut, lanjut dia, mereka menyebut bahwa Presiden RI sebagai kepala pemerintahan diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum. “Hal itu menyebabkan ABK Indonesia terus menjadi korban eksploitasi di kapal ikan asing,” tegasnya.
Dia menjelaskan, dalam Pasal 64 dan Pasal 90 Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran (UU PPMI) Indonesia mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan RPP tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan selambat-lambatnya dua tahun setelah diterbitkan.
“Namun kini, empat tahun lebih sudah, Presiden RI berdiam diri atas karut marut tata kelola perekrutan dan pengiriman ABK ke kapal asing. Sikap diam pemerintah secara nyata merupakan bentuk perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Presiden RI karena tidak melakukan perintah UU,” tegasnya.
Sikap diam yang dilakukan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo ini mengakibatkan timbulnya korban karena tidak ada kepastian hukum atau kekosongan hukum dalam proses penempatan dan pelindungan pekerja migran tersebut.
“Di tengah kekosongan hukum ini, aktivitas perekrutan dan pengiriman ABK dari Indonesia ke kapal asing terus berlangsung sehingga membuat korban eksploitasi terus berjatuhan,” ujar dia.
Dalam surat gugatan tersebut, lanjut dia, disebutkan pula berbagai bentuk eksploitasi yang dialami oleh Jati, Rizki, dan Pukaldi selama bekerja di kapal ikan asing. Di antaranya diskriminasi, kekerasan fisik dan verbal, penahanan upah, serta perintah kerja di luar kontrak yang disepakati.
“Bahkan setelah pulang ke Indonesia, mereka kesulitan untuk memperjuangkan hak-hak yang belum dipenuhi,” katanya.
Pihaknya mengapresiasi upaya para mantan ABK tersebut yang secara aktif terlibat dalam penyusunan gugatan ini. “Proses ini jangan dipandang sebagai perlawanan dalam konteks negatif. Kami mengoreksi tindakan pemerintah yang kami anggap melanggar hukum. Melalui proses hukum di PTUN ini, kami berharap pengadilan akan memaksa Presiden menjalankan perintah UU PPMI dan segera menerbitkan RPP Pelindungan ABK,” papar Viktor.
BACA JUGA: Potret Kelam ABK Indonesia, Kerja Paksa di Kapal Cina
Koordinator Departemen Media dan Komunikasi, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Figo Paroji mengatakan, sepanjang 2021, SBMI mencatat 188 kasus baru perbudakan ABK di kapal asing.
“Angka tersebut merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun sejak tahun 2013. Ini membuat total kasus perbudakan ABK yang ditangani oleh SBMI menjadi 634 kasus,” katanya.
BACA JUGA: Eksploitasi Dibiarkan Pemerintah, Tiga Mantan ABK Indonesia Surati Presiden
Langkah ketiga ABK tersebut merupakan tindak lanjut dari surat keberatan administratif yang disampaikan kepada Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat Negara RI pada 7 April 2022 lalu.
“Karena surat tersebut tidak mendapat respon dari Presiden, mereka memutuskan melanjutkan perjuangan dengan menempuh langkah hukum berikutnya, yakni menyerahkan gugatan ke PTUN. Langkah advokasi tiga mantan ABK ini mendapat dukungan dari SBMI dan Greenpeace Indonesia,” katanya. (*)