in

Maestro Tari Semarang Kemas Kisah Ki Ageng Pandanaran dalam Tari Pandanaran Nyai Brintik

SOLO (jatengtoday.com) – Tari Pandanaran Nyai Brintik, reportoar tari kreasi tradisi pesisiran karya Maestro Tari Yoyok Bambang Priyambodo disajikan dalam perayaan Hari Tari Dunia ke 17, beberapa waktu lalu 29 di teater kecil ISI Surakarta.

Sajian diawali dengan Gerak tangan kelima jari terbuka dengan lenturan ombak samudra yang diikuti kaki dan tubuh dengan hentakan sebagai bentuk ragam Pesisiran pengembangan sekaran gerak tari tradisi.

Adapun Gerak tersebut disajikan oleh Para Penari yaitu Yoyok Bambang Priyambodo sebagai Sunan Kalijogo, Canadian Mahendra sebagai Ki Ageng Pandanaran, Fairuz Salma sebagai Nyai Brintik dan Hasya Alvinki, Deva Amelia, Davina Darafrida, Maria Benita, Ratna Wulan, Elvaretha Anggun, Rachel Catania, Maulida K yang diiringan gamelan dengan tembang “Ambabar Langen carita, Abad limolas Masehi, Kutho Semarang ing uni, Gumelaring beksan nenggih, Ki Ageng Pandanaran, mangsah yuda, Nyai Brintik”.

Yoyok bercerita, inspirasi karya tari tersebut diambil dari cerita rakyat dan babat serta penelusuran sejarah Kota Semarang tentang kisah Ki Ageng Pandanaran ketika melaksanakan tugas dari Kerajaan Demak Bintoro untuk Syiar agama Islam di Semenanjung Tiram atau Tirang sekarang Kota Semarang.

“Sajian tersebut tersirat dalam tembang Ing Serat, Kandhane ringgit purwo siji telu songo wolu saka, Utawa siji papat pitu enem masehi, Sinebat Semenanjung Tiram, Uga nami pulau tirang, Arupi bukit sajroning kutho, Tembung Sangsekerta Pragota, kang misuwur nami Bergota,” ucapnya.

Gerak Rampak para penari yang dinamis dengan menggunakan properti rantai sebagai senjata menambah ragam gerak baru yang tidak biasa digunakan dalam sebuah pertunjukan tari.

Suguhan Tari Pandanaran Nyai Brintik yang dikemas secara Kreatif dan penuh Inspiratif bagi perkembangan Seni Budaya khususnya Seni Tari. Dalam perjalanan syiarnya Ki Ageng Pandanaran mengalami hambatan kecil yaitu adanya ketidakcocokan atau kurang sepaham dari tokoh di Bukit Brintik yang bernama Nyai Brintik seperti sinopsis dalam karya tari ini.

“Permusuhan,pertengkaran, pertikaian bahkan Pertempuranpun tak selamanya harus saling membunuh dan dibunuh hingga berujung dengan kematian. Seperti halnya kemarahan Nyai Brintik dimana keberadaan Bukit Brintik sebagai wilayah

Kabupaten Semarang terasa terusik oleh kehadiran Ki Ageng Pandanaran tatkala membangun Kabupaten,” papar Yoyok

“Bukan karena Kekuatan Kanuragan para Prajurit dan banyaknya Pasukan serta kecanggihan Senjata, namun tutur kata, kepribadian yang

andap asor dengan sikap santun, bijaksana, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi serta toleransi saling menghargai merupakan pusaka Ki Ageng Pandanaran,” lanjutnya.

Kegarangan Nyai Brintik pun redam, dan luluh hingga berakhir dengan Perdamaian dan bersatu bersama membangun Kabupaten Semarang dengan ikhlas.

Penampilan tari tersebut diakhiri dengan manunggalnya Ki Ageng Pandanaran dan Nyai Brintik serta seluruh kawula dan pengikut untuk bersama membangun Kabupaten Semarang yang dituangkan dalam gending Ladrang susunan Canadian Mahendra dengan tembang Mangkubumi Pngeran, Ingkang gelar Sunan Bayat, Bupati ing Semarang, Rikala Demak Bintoro, Ki Ageng Pandanaran, Nyai Brintik ing ngalogo, Kekalih tali wondo, Adegking Kutho Semarang, Kekalihpun sinedya ambangun Kutho Semarang, Nyawiji rasa karsa, Guyub Rukun den Sentosa, Tata tentrem raharja, Loh Jinawi gemah ripah, Manunggal pra kawula, Setya bekti mring Nagara.

Pementasan Tari Pandanaran Nyai Brintik yang disajikan oleh Sanggar Greget Semarang berhasil memukau penonton dan hadirin karna kerja sama seluruh Tim Produksi yang di komandani Sangghita Anjali, S.Sn beserta penata rias busana Tri Narimastuti, Ratu Gayatri, Sekar Arum, Daniel Doohan, Kristi dan Pembantu Umum Arifin, Reza, Ikhsan serta Dokumentasi Veroma Billy, Ari P. (*)