SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana penutupan Lokalisasi Argorejo Semarang atau kerap disebut Sunan Kuning (SK) yang ditarget paling lambat 2019, belum diikuti rencana solusi jangka panjang secara jelas. Pasalnya, rencana tersebut belum memuat masterplan menyeluruh pasca penutupan akan seperti apa.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi memunculkan wacana bahwa idealnya Lokalisasi SK diubah menjadi kawasan pondok pesantren modern atau Islamic Center.
“Kalau anggaran (APBD) cukup, idealnya lahan (Argorejo) harus dibeli pemerintah untuk kemudian diubah peruntukannya misalnya untuk pondok pesantren modern atau Islamic Center,” kata Hendi sapaan akrab Hendrar Priihadi, Selasa (9/10/2018).
Dikatakannya, bisa juga lahan tersebut dibeli oleh pihak swasta untuk berinvestasi dengan kegiatan positif. “Ya, monggo kalau swasta untuk kegiatan lainnya seperti pusat ekonomi,” ujarnya.
Meski begitu, Hendi menegaskan bahwa anggaran Pemkot Semarang hingga saat ini belum memungkinkan untuk melakukan pembelian lahan Argorejo. Untuk melakukan pembelian lahan tersebut diperlukan waktu kurang lebih dua-tiga tahun ke depan. Sedangkan rencana dari pemerintah pusat mengharapkan Argorejo harus ditutup paling lama 2019.
“Kami sudah intip anggaran pemkot belum mampu untuk membeli,” katanya.
Surat Kementerian Sosial menegaskan bahwa 2019 tidak ada lokalisasi lagi di Indonesia. Pihaknya menegaskan telah melakukan sosialisasi mengenai rencana penutupan SK sejak jauh hari. Baik sosialisasi pengelola Argorejo maupun pihak non-governmental organization (NGO).
“Mereka mau kok ditutup, hanya saja tidak seketika, tidak ujug-ujug. Penutupan kan harus melewati sebuah proses panjang. Misalnya perempuannya nanti mau di-ke-mana-in. Usaha karaokenya mau di-gimana-in, dan seterusnya,” ungkap Hendi.
Mengenai proses itu, Hendi menegaskan saat ini Pemkot tengah merumuskan persoalan teknis. Salah satunya menyiapkan pendampingan pelatihan keterampilan wirausaha bagi warga binaan Resosialisasi Argorejo. Tujuannya agar warga binaan tersebut bisa kembali hidup normal di tengah masyarakat dan mampu mengelola wirausaha mandiri.
“Penutupan itu pasti, entah 2018 ini atau paling lambat 2019. Kami masih menyelesaikan persoalan teknis, kalau sudah waktunya kita tutup,” katanya.
Hal yang cukup menjadi kendala, lanjut Hendi, beberapa aset di SK kebanyakan bukan milik warga setempat. Sehingga diperlukan pembebasan lahan yang cukup menyita waktu. Sedangkan batas akhir penutupan 2019.
“Kami bisa ngomong ‘sudah ditutup ya’, lalu selesai. Tetapi ya tidak begitu, kami tetap harus ajak rembugan. Karena mereka tadinya dapat rezeki di situ, kalau kemudian terputus gimana, itu perlu dipikirkan bersama. Sehingga hal-hal semacam itu membutuhkan waktu dan membuat kecepatan dalam menutup ini tidak bisa lugas dan taktis,” katanya.
Keberadaan Lokalisasi SK konon memiliki omzet miliaran dari transaksi setiap hari. Baik dari ratusan tempat hiburan maupun aktivitas perdagangan. Namun karena ilegal, maka tidak ada keuntungan secara ekonomis bagi pemerintah.
“Tidak ada pajak dan retribusi, dan tak mungkin. Masak kita mau ambil pajak dari jual beli kayak gitu, karaokenya juga tak berizin,” katanya.
Tetapi rencana penutupan lokalisasi bukan soal pendapatan daerah, melainkan persoalan sosial kemanusiaan untuk mengembalikan harkat dan martabat perempuan. “Kami harus pertimbangkan itu, Kalijodo dan Dolly itu contoh sukses yang saya minta kepada Kadinsos untuk meniru,” imbuh Hendi.
Aktivis dan Pemerhati Sosial, Paskalis Abner, sebelumnya menyampaikan, bahwa penutupan Lokalisasi Argorejo jangan sampai dilatarbelakangi alasan politik. Hal paling penting adalah bagaimana pemerintah benar-benar telah melakukan kajian secara komprehensif.
“Sebaiknya, tidak tergesa-gesa. Selama ini sudah ada upaya yang dilakukan pemerintah. Tetapi upaya tersebut belum bisa dibilang serius,” katanya.
Menangani penutupan lokalisasi ada banyak aspek yang perlu dibahas. Misalnya, ketika lokalisasi ditutup, para pekerja seks itu keluar dan ‘main’ di hotel. Bagaimana jika dia positif HIV? Sedangkan dia tidak ada yang bertanggung jawab melakukan pendampingan dan pemerikaan.
“Menularlah HIV tersebut di tengah masyarakat. Lelaki itu pulang dan berhubungan intim dengan istrinya. Tanpa dilakukan kontrol oleh pemerintah, penyebaran HIV seperti ini akan semakin meluas. Apakah pemerintah ngerti dampak penutupan lokalisasi seperti itu?” katanya.
Penutupan lokalisasi tidak bisa dilakukan hanya karena alasan penyakit moral masyarakat saja. Ini bukan soal menutup atau tidaknya, tapi bagaimana mencari solusi mengentaskan mereka. “Contoh, Lokalisasi Dolly di Surabaya setelah ditutup, apakah praktik prostitusi berhenti? Oh, ternyata tidak. Mungkin tempatnya memang benar-benar tutup. Tetapi praktik prostitusi tetap berlangsung dan merebak di lain tempat,” katanya.
Hal yang berbahaya, lanjutnya, setelah ditutup justru praktik prostitusi berlangsung liar. Tentu hal seperti itu akan semakin tidak bisa dikendalikan. Penyebaran virus HIV juga tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. “Makanya perlu kajian secara matang,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto