“Kalau ditutup, terus pada pergi semua, siapa yang akan beli?”
SEMARANG (jatengtoday.com) – Pemerintah Kota Semarang berencana mengalihfungsi kawasan Lokalisasi Argorejo atau Sunan Kuning (SK) menjadi kampung tematik pada Agustus 2019. Namun, tak sedikit yang memandang sebelah mata wacana tersebut. Salah satunya dari para pedagang.
Sutinah (56), pedagang rumahan di sekitar lokasisasi berpendapat penutupan SK di tahun ini bukan merupakan langkah yang tepat. Sebab, ada berbagai aspek yang harus dipikirkan, seperti nasib para pedagang yang menggantungkan jualannya kepada para pengunjung lokalisasi.
“Saya sendiri tidak sepakat. Soale kalau ditutup nanti kan saya juga yang kena dampaknya. Biasanya yang beli disini ya ‘mbak-mbaknya’ sama para pelanggannya, kalau pada pergi semua, siapa yang akan beli?” ucapnya, Minggu (16/6/2019).
Dirinya juga mempertanyakan rencana untuk menjadikan kawasan itu sebagai kampung tematik. Terkait hal ini, Pemkot Semarang juga belum bisa memastikan apakah berupa kampung kuliner atau kampung karaoke. Meskipun Pemkot tetap lebih condong kepada rencana kampung kuliner.
Saat dikonfirmasi terkait hal ini, Ketua Satpol PP Kota Semarang, Fajar Purwoto mengaku akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan para muncikari dan wanita pekerja seks (WPS) pada Selasa (18/6/2019) besok. Hal itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan pada Kamis (13/6/2019) dengan ketua resos.
Pedagang lain, Rusmiati (51) juga mengaku kurang sepakat dengan rencana penutupan SK. Kalaupun akan dijadikan sebagai kampung kuliner atau semacamnya, ia juga mengkhawatirkan terkait masa depan omzetnya, sebagaimana yang dikatakan Sutinah.
“Kalau penghuni sini pada pulang kampung semua, terus dijadiin kampung kuliner, siapa yang akan beli. Pasarannya pasti mati. Kalaupun ada yang bali kan pasti tidak seramai sekarang,” keluhnya.
Rencana dijadikan kampung karaoke juga tetap menjadi ancaman baginya. Sebab, kata Rusmiati, manajemen bisnis karaoke biasanya tidak memperbolehkan untuk membeli jajan di luar karena semuanya sudah tersedia. Berbeda dengan bisnis esek-esek.
“Di room (karaoke) itu kan sudah tidak boleh bawa apa-apa dari luar. Otomatis nanti dagangan saya tidak laku lah. Apalagi itu pedagang keliling yang pakai gerobak, lebih kasihan lagi itu,” ucap Rusmiati dengan menggunakan bahasa Jawa.
Namun, ada pula pedagang yang berpendapat lain. Salah satunya Ambar, pedagang kelontong.
Baginya tidak masalah jika lokalisasi ditutup. Meskipun selama ini pelanggan utamanya adalah para WPS. Apalagi dirinya juga mendapat kabar bahwa ke depan akan dijadikan sebagai kampung kuliner, yang itu tentu sejalan dengan bisnis yang dijalaninya.
“Saya sih terserah. Mau ditutup ya monggo, mau tetap buka ya silakan. Rezeki sudah ada yang ngatur. Lagian masih ada warga asli sini yang akan beli,” tandasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto