Dikatakannya, pemaparannya bukan mencari kebenaran. “Tetapi tujuannya adalah membangun alat komunikasi. Selama ini, alat komunikasi reduksionistik. Itu memang didesain. Di Amerika disebut “food and drugs”. Untuk menyembuhkan orang itu bisa menggunakan makanan dan minuman sebetulnya, bukan dengan drugs. Warisan nenek moyang kita juga seperti itu. Tapi sekarang kalau sakit minum obat. Minum obat itu bahan kimia. Sehingga ada konsep-konsep seperti penyalahgunaan obat. Itu kalau di konsep nenek moyang kita tidak ada,” bebernya.
Menurut Prof Sutiman, segala sesuatu yang impact negatifnya sedikit adalah mendekati kebenaran. “Bagi saya, alam ini adalah kebenaran. Kesalahan ada di pikirannya. Alam itu ayat-ayat yang maha kuasa. Pikiran kita bisa salah dalam membaca kalau kita memakai cara analitik reduksionistik saja,” katanya.
Apabila nalar seseorang bisa mengikuti, lanjut Sutiman, kemudian fakta bisa disuguhkan, maka orang tersebut pasti bisa menerima. “Selama ini yang dilakukan kampanye antirokok ya itu,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, Dekan Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, Dr. Marcella Elwina Simandjuntak, juga memaparkan analisanya mengenai polemik tembakau-rokok yang terjadi selama ini. (*)
editor : ricky fitriyanto