in

LKRI Kupas Hak Konsumen Rokok

Parahnya, lanjut Khafid, telah terjadi “stigma” negatif bahwa merokok menjadi sebuah “kejahatan”. “Seakan-akan merokok sebagai sebuah kejahatan. Udah kena pajak double, kena 10 persen di industrinya, 10 PPN penjualannya, dan lain-lain. Setelah itu masih dibatasi dengan regulasi yang tidak adil,” katanya.

Lebih lanjut, menurut dia, seharusnya pemerintah memberikan hak konsumen rokok secara adil dan bijaksana. Hal sederhana misalnya dalam hal penyediaan fasilitas smoking area yang layak. “Tapi perokok juga tidak boleh ‘sak karepe dewe’. Tidak buang sampah sembarangan dan seterusnya. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, semua harus adil,” katanya.

Menurut dia, rokok dan narkoba menjadi masalah “stigmatisasi”. Tembakau-rokok di Indonesia ini tidak sekadar “food”, tapi juga culture. Di Amerika, tembakau termasuk “food and drugs”, aturannya sama. “Yang nggak boleh apa? Penyalahgunaannya. Jadi, penyalahgunaan rokok itu yang nggak boleh,” katanya.

Sebenarnya, masih kata Khafid, hanya ada dua negara di dunia yang memiliki ketahanan pangan terbaik. “Pertama Indonesia, dua, Tiongkok. Tapi kalau dari sisi tanaman berkhasiat obat, nomor satu Indonesia. Kedua Brasil. Ada kurang lebih 40.000 jenis tanaman obat, 30.000 ada di Indonesia. Sekarang dirusak seperti adanya program minyak sawitisasi dan seterusnya,” bebernya.

Sementara itu, Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU DIY dan Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie mengatakan, gerakan anti-rokok berhasil karena mereka menginfiltrasi seluruh norma. Baik di level Undang-Undang Cukai, Undang-Undang Kesehatan, hingga di DPRD.