in

Sering Disalahkan, Konsumen Rokok Protes

SURABAYA (jatengtoday.com) – Perokok cenderung selalu dicap sebagai orang yang berperilaku buruk oleh pemerintah dan sebagian orang. Perokok juga kerap menjadi pihak yang selalu disalahkan oleh kebanyakan dokter ketika sebuah penyakit datang.

Stigma negatif tentang rokok terus digaungkan. Keberadaan perokok di Indonesia terus dikampanyekan untuk “dibenci” dan dianggap jahat. Namun di sisi lain pemerintah mengeruk keuntungan besar dari industri rokok tersebut.

Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI) menggelar Fokus Group Discussion (FGD) dengan tema “Mencari Keadilan Bagi Konsumen Rokok” di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur, Sabtu (14/12/2019).

Dalam kesempatan tersebut sekaligus melaunching berdirinya Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI) Perwakilan Jawa Timur.  “Selama ini, perokok menjadi kaum yang termarginalkan. Mereka membutuhkan sebuah wadah perlindungan. Mereka perlu membangun komunikasi pendekatan dialektika untuk memperjuangkan haknya sebagai konsumen rokok,” tegas Pengawas Lembaga Konsumen Rokok (LKRI) Jawa Timur, I Made Sukharta.

Dikatakannya, dana bagi hasil cukai tembakau di Jawa Timur pada 2019 mencapai Rp 1,6 triliun. Sebuah kontribusi yang fantastis bagi pendapatan APBN.

“Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2017 pernah menyampaikan desifit BPJS ditalangi oleh dana cukai tembakau sebanyak Rp 5 triliun. Dengan kondisi seperti itu, pemerintah seharusnya bisa mengukur bahwa rokok punya kontribusi besar terhadap negara,” katanya.

Tidak hanya itu, fakta peran rokok di Indonesia bisa diurai dari hulu hingga hilir. Mulai dari tenaga kerja yang mampu menyerap kurang lebih 5,9 juta orang. Petani tembakau, perkebunan hingga pabrik, bahkan sektor ekspor industri rokok hampir 1 miliar dolar amerika serikat.

Dia memaklumi, larangan merokok di rumah sakit dan sekolah. “Perlu tolok ukur dan perhatian serta keadilan terhadap perokok sebagai konsumen yang punya kontribusi ekonomi dan pemasukan negara,” tegasnya.

Pakar hukum dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Khrisna Djaya Darumurti mengatakan, selama ini para perokok pada posisi terkena stereotip sebagai perbuatan tak baik. Padahal merokok bukan perbuatan jahat.

“Merokok bukan sesuatu yang jelek. Merokok adalah hak. Hak adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia baik aspek fisik maupun eksistensial,” kata Khrisna.

Dijelaskannya, hak tersebut melekat pada individu manusia dan menjadi landasan, sebelum memunculkan hukum. Namun yang terjadi sejauh ini justru sebaliknya. “Dalam konteks perokok saat ini justru terbalik, hukum didahulukan lewat aturan larangan kawasan merokok. Sedangkan haknya diabaikan,” tandasnya.

Ia menjelaskan merokok bukan soal etika dan bukan sekedar kebiasaan, tapi hak hukum. “Maka diperlukan perlindungan hukum terhadap hak,” katanya. (*)

 

editor : ricky fitriyanto