in

Kontradiksi Kampung Pemulung di Tengah Gemerlap Smart City

SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebagai kota metropolitan, Semarang memiliki banyak sisi yang cukup menarik dan unik. Banyak menyimpan keindahan tanah berbukit, pegunungan, sekaligus berada di pesisir pantai utara Pulau Jawa.

Di bagian dataran tinggi memiliki suhu udara yang dingin menggigit. Sedangkan di sisi pesisir pantai bersuhu udara panas yang membakar kulit. Aspek kebencanaan, Semarang di dataran tinggi memiliki potensi rawan longsor karena lapisan tanah berbukit. Sedangkan Semarang bagian pesisir berpotensi tenggelam ditelan banjir dan rob.

Dua karakteristik yang saling berlainan. Banyak keindahan alam, tetapi juga tak kalah banyak wilayah kekumuhan lingkungan. Memiliki luas total 373.67 km persegi, Kota Semarang memiliki kawasan kumuh kurang lebih seluas 416 hektare. Aktivitasnya kian berjejal dan berkembang pesat dengan jumlah penduduk hampir mencapai 2 juta jiwa dan siang hari bisa mencapai 2,5 juta jiwa.

Pesatnya penduduk membuat Kota Lumpia ini kerap dihantui kemacetan lalu-lintas. Di dataran rendah menjadi pusat bisnis dan mulai menjamur gedung bertingkat. Sedangkan sebagian di dataran tinggi masih memiliki lahan pertanian.

Sejak 2013 silam, Kota Semarang ditetapkan menjadi kota berkonsep smart city. Sebuah kota pintar yang bersih, sehat dan ramah lingkungan. Dibawah tampuk kepemimpinan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, kota Semarang bertumbuh pesat.

Berbagai pembangunan infrastruktur, gedung, jalan, normalisasi sungai, kampung tematik, wisata kampung, wisata bahari, pendidikan gratis, hingga kesehatan gratis menambah Kota Atlas berwarna-warni.

Setidaknya, Pemkot Semarang hingga 2018 memanfaatkan sebanyak 177 aplikasi, memasang 2.300 titik wifi gratis untuk mendukung penerapan konsep smart city. Pelayanan masyarakat lambat laun membaik.

Namun di sisi lain, kekumuhan yang belum terjamah masih banyak. Di balik gemerlap smart city berjejal teknologi, juga ada kampung pemulung.
Ratusan rumah reyot yang terbuat dari kayu bekas dan kardus, berjubel dikelilingi bukit. Kampung pemulung tersebut terletak tak jauh dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang. Berjarak kurang lebih 13 km dari pusat Kota Semarang.

Untuk menuju permukiman pemulung tersebut, hanya ada satu akses jalur utama, yakni melewati TPA Jatibarang yang memiliki luas kurang lebih 44,5 hektare. Memasuki wilayah tersebut bau busuk sampah menyengat.

TPA Jatibarang memang menjadi pusat pembuangan sampah terbesar di Kota Semarang. Tempat busuk ini menjadi ladang uang bagi ratusan pemulung. Setiap hari mereka bergelut dengan sampah. Bahkan saat ini sedang dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di lokasi tersebut.

Hal cukup unik, ternyata ratusan pemulung itu memiliki permukiman. Tepatnya di bukit kurang lebih 1 km dari TPA Jatibarang. Terdapat kandang-kandang sapi pemakan sampah.

Setelah melewati deretan kandang sapi, dari kejauhan terlihat rumah-rumah kayu dan kardus. Memasuki perkampungan itu terdapat papan bertulis “Permukiman Pemulung”, musala kecil, dan MCK.

Di kala siang, rumah di kampung itu terlihat sepi. Sebab para penghuninya bekerja memungut sampah di areal TPA Jatibarang. Tetapi di kala malam, suasananya ramai layaknya permukiman padat penduduk. Sekurang-kurangnya ada 150 kepala keluarga (KK) tinggal dan beranak pinak di lokasi tersebut.

Listrik penerangan di permukiman itu menggunakan aki. Sedangkan di beberapa titik pengolahan sampah milik Pemkot Semarang terdapat penerangan listrik menggunakan tenaga surya.

“Ada kurang lebih 150 KK tinggal di sini, semua bekerja sebagai pemulung,” kata YAN, salah satu penghuni.

Ia mengaku pendatang dari Boyolali. Merantau di Kota Semarang untuk mengais rezeki. Dia tulang punggung keluarga dan menghidupi istri serta tiga anak. “Saya hanya lulusan SD. Hanya bisa memunguti sampah,” katanya.

Hampir semua warga penghuni di permukiman tersebut merupakan teman. Bekerja sebagai pemulung lantaran diajak oleh teman pendahulu. Begitupun generasi seterusnya secara turun temurun. Sehingga para pemulung bertambah banyak. “Selain dari Boyolali juga dari Purwodadi, Sragen, Solo dan Pati. Ya bagaimana lagi, nyari pekerjaan lain yang layak sulit. Yang penting halal,” katanya.
Di tengah gemerlap zaman teknologi, sebagian besar mereka tidak memanfaatkan teknologi Android. Mereka hanya menggunakan seluler untuk menelepon seperlunya. “Saya enggak bisa internetan. HP cuma buat nelpon,” ungkap dia. (abdul mughis)

editor : ricky fitriyanto