SEMARANG (jatengtoday.com) – Pertunjukan kesenian wayang potehi turut menyemarakkan Pasar Imlek Semawis di Semarang. Namun, kesenian asal Negeri Tirai Bambu tersebut terancam punah karena minimnya regenerasi.
Dalang wayang potehi Semarang yang masih tersisa, Herdian Candra Irawan atau Thio Hauw Lie mengatakan, selepas ayahnya meninggal pada Agustus 2014 silam, nasib kesenian itu kian memprihatinkan. Herdian mengaku tertatih-tatih meneruskan tradisi kesenian tersebut.
“Setelah Papa mulai jatuh sakit sampai meninggal, saya baru terpikirkan tentang wayang ini,” ujarnya, Sabtu (2/2/2019).
Dia bercerita, di internal keluarganya dulu sempat berunding tentang siapa yang bakal meneruskan tradisi wayang potehi. Dia menawarkan kepada enam saudara kandungnya. Namun, ternyata tidak ada yang mau untuk melanjutkan.
“Kakak perempuan saya malah menyarankan untuk menyumbangkan perlengkapan wayang tersebut, kecuali jika saya mau melanjutkan,” tutur anak kelima dari tujuh bersaudara tersebut.
Dia menceritakan bagaimana pergumulannya sebelum memutuskan meneruskan jejak ayahnya menjadi dalang. Akhirnya, pada awal 2015 Herdian memulai karirnya sebagai dalang wayang potehi bermodal keterampilan otodidak.
Secara terbuka Herdian mengaku dirinya tidak terlalu menguasai profesi barunya ini. Dia dipercaya sebagai penerus oleh keluarganya hanya karena merupakan anak yang paling sering menemani pentas ayahnya.
“Dulu saya sering menemani Papa saat pentas di berbagai kota. Meskipun seringnya hanya membantu bongkar pasang panggung,” ungkapnya.
Banyak kendala yang harus dilalui Herdian. Selain kelenturan memainkan wayang yang belum terlalu dikuasai, dia juga minim pengetahuan tentang cerita-cerita klasik yang biasa dipentaskan dalam wayang potehi.
Saat awal-awal dulu, kesulitan itu diperparah dengan minimnya keterampilan anggota kelompok wayangnya dalam memainkan musik. Belum lagi, ada beberapa wayang yang rusak sehingga harus dibuatkan duplikat.
Tak berhenti disitu, kendala yang dihadapi Herdian juga sangat terasa saat harus bertutur menggunakan dialek Hokkian. Padahal dalam beberapa dialog, terutama ketika sedang bernyanyi, lazimnya dalang mengeluarkan dialek Hokkian.
“Kalau Papa dulu masih fasih pakai bahasa Hokkian. Kalau saya cuma di awal dan diakhir aja pakai Hokkian, selebihnya ya Bahasa Indonesia. Itu pun dulu pas awal-awal harus tak tulis dulu di kertas,” ujarnya.
Sementara untuk minimnya ide cerita, Herdian mencoba mengakalinya dengan sering menonton film-film berlatar belakang kebudayaan Tiongkok. Bahkan, tak jarang dia belajar dengan cara menonton pertunjukan-pertunjukan di kanal Youtube.
Herdian berharap agar ke depan ada banyak generasi muda yang meneruskan tradisi wayang potehi. Pasalnya, dia juga tak berani menjamin sampai kapan kesenian khas Tiongkok ini dapat bertahan di Indonesia.
Selama ini, memang cukup banyak pihak yang menemuinya untuk keperluan wawancara media. Banyak pula yang dari kalangan pelajar hingga mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi datang ke rumahnya.
“Banyak yang tanya-tanya, wawancara. Mudah-mudahan bisa kembali mengangkat wayang potehi sehingga banyak peminatnya,” harapnya.
Sebab, kata Herdian, secara umum peminat wayang potehi di Jawa Tengah sangat minim. Selain sepinya permintaan pementasan, generasi muda yang memiliki minat pada tradisi ini juga sangat sedikit.
Untuk mengantisipasi itu, dia pun kerap berkeliling ke sekolah-sekolah di Semarang untuk mengajar siswa memainkan wayang potehi. Cukup banyak sekolah yang dikunjungi, seperti Sekolah Nusaputera, SMA Kolese Loyola, dan Sekolah Kuncup Melati.
Dia ingin kesenian yang telah mewarnai kehidupan masyarakat ribuan tahun itu tidak punah. Melalui pementasan di Pasar Imlek Semawis ini, Herdian ingin memantik masyarakat untuk melestarikan kebudayaan yang pernah jaya di Semarang. (*)
editor : ricky fitriyanto