SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana pembangunan Underground Simpang Lima Semarang akan dilanjutkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Saat ini proyek tersebut dalam proses lelang Detail Engineering Design (DED).
Namun demikian, berdasarkan pengumuman di web lpse.semarangkota.go.id terdapat kejanggalan. DED Undergroud Simpang Lima Semarang yang ditangani Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang tersebut senilai Rp 1.370.350.000. Tahapan proses lelang diumumkan mulai 9 Maret 2021 yakni pengumuman prakualifikasi dan berbagai tahap lainnya.
Penetapan pemenang dan pengumuman pemenang lelang tertulis pada 3 Mei 2021, dan penandatangan kontrak pada 19 Mei 2021. Namun hingga saat ini tidak diumumkan siapa pemenang lelang.
Plt Kepala Distaru Kota Semarang, M Irwansyah saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses lelang tersebut di Bagian Layanan Pengadaan Barang/Jasa (BLPBJ) Kota Semarang.
“Ranahnya masih di Bagian Layanan Pengadaan Barang/Jasa (BLPBJ). Semua proses ada di sana. Kami hanya user, tunggu hasil dari sana,” katanya, Kamis (27/5/2021).
Dikatakannya, proyek Underground Simpang Lima Semarang saat ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). “Untuk pembangunan fisik, kami menunggu program dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Perkiraan saya kalau lancar mudah-mudahan akhir atau awal tahun 2022 bisa dimulai. Namun untuk kepastian, saya belum tahu persis,” katanya.
Pakar Hidrologi dari Undip, Dr Ir Nelwan Dipl HE sebelumnya menyebut rencana proyek pembangunan gedung bawah tanah di Simpang Lima Semarang ini sebetulnya telah direncanakan sejak 1997-1998 silam, pada masa masa pemerintahan Wali Kota Semarang Soetrisno Suharto.
“Saat itu memang pernah dilakukan study analisis dan dinyatakan tidak ‘feasible’ (layak) secara ekonomi. Pemkot Semarang harus betul-betul melakukan kajian ulang secara komprehensif. Apakah investasi di Semarang, khususnya di kawasan Simpang Lima, saat ini sudah ‘feasible’ secara ekonomi? Kalau hanya misalnya gedung lima lantai bawah tanah hanya untuk menampung Pedagang Kaki Lima (PKL) tahu petis, tentu itu tidak ‘cucuk’, seharusnya PKL jual tahu emas,” ujarnya.
Namun demikian, Nelwan mengapresiasi gagasan tersebut. Konsekuensinya akan memerlukan biaya sangat tinggi, sekaligus operasional dan pemeliharaannya membutuhkan biaya tinggi.
“Mengatasi rembesan air tanah, limpasan air hujan harus ada teknologi pompa, sistem atau mesin yang dirancang untuk menstabilkan suhu udara dan kelembaban area, listrik, juga tidak boleh mati. Sebab, kalau salah mengelola bisa berbahaya,” ungkapnya. (*)
editor: ricky fitriyanto