SEMARANG (jatengtoday.com) – Ancaman penggusuran kian menghantui ratusan warga yang tinggal di RW 10 Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Bahkan kini ada beberapa rumah yang sekelilingnya sudah mulai diuruk dengan tanah proyek.
Konflik lahan di kampung tersebut sudah bergulir cukup lama. Warga yang telah bermukim bertahun-tahun hingga berganti generasi harus berhadapan dengan pihak pendatang yang mengklaim memiliki sertifikat tanah di tempat warga tinggal.
Pendatang tersebut salah satunya berinisial RY yang hendak mendirikan sebuah perusahaan. Sekarang ini dia sudah memulai proyek dengan membangun pagar pembatas beton di dua titik berbeda yang mengelilingi rumah-rumah warga.
Warga mengaku semakin tertekan lantaran proyek itu terus berlanjut meskipun penyelesaian sengketa belum kelar. “Ini yang paling baru mereka memasang pintu pagar dan melakukan pengurukan,” ujar Kasman (54), warga yang rumahnya sudah terkurung pagar.
Berdasarkan pantauan, truk-truk pembawa tanah urukan terlihat hilir mudik di sekitar lokasi. Ada pula satu alat berat yang digunakan untuk meratakan tanah. Sementara itu, Kasman bersama istrinya tetap berjualan di warung yang tak berjarak dengan titik pengurukan itu.
“Mungkin saya kelihatan biasa-biasa saja samping rumah sudah diuruk tanah, tapi dalam hati tertekan, stres saya ini,” ucap Kasman saat ditemui di kediamannya, Selasa (1/9/2020).
Meskipun tidak terima, sementara ini dia bersama warga lain memilih untuk tidak berkonfrontasi langsung dengan para pekerja proyek. Sebab, katanya, status mereka hanya buruh yang notabene tidak tahu apa-apa tentang konflik lahan ini.
“Tapi yang jelas kami sangat keberatan. Pengurukan ini sudah keterlaluan. Masa sekeliling rumah diuruk, nanti kalau hujan pasti airnya masuk rumah semua ini,” keluh Kasman.
Hanya Laksanakan Tugas
Sementara itu, para pekerja fokus untuk melakukan pengurukan sekalipun di sekitarnya masih terdapat rumah-rumah warga. “Kami di sini cuma kerja, nggak tahu apa-apa,” celetuk salah satu pekerja yang enggan disebutkan namanya saat dimintai komentar.
Ada satu pekerja yang cukup terbuka. Namanya Mukhlis. Warga sekitar menyebutnya sebagai mandor karena biasanya bertugas mengawasi proyek tersebut.
Menurutnya, saat ini pembangunan fokus pada pengurukan tanah. Tetapi pihaknya menegaskan tidak akan menguruk rumah warga, hanya bagian yang tidak terdapat bangunan saja. “Kami tidak akan menyentuh rumah warga,” paparnya.
Namun, Mukhlis enggan menjelaskan terkait konflik lahan tersebut. “Itu sudah ada yang ngurusi. Nanti kalau masalahnya sudah selesai, atasan kami sudah memerintahkan, baru kami jalan. Kami hanya petugas lapangan,” imbuhnya.
Yang jelas, kata dia, pelaksanaan proyek ini didasarkan pada izin yang legal. Pihaknya mengklaim telah mengantongi sertifikat tanah asli, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Keterangan Rencana Kota (KRK).
“Kalau mau tanya lebih lanjut bisa ke atasan kami atau konfirmasi langsung ke Distaru (Dinas Penataan Ruang Kota Semarang). Itu sudah ada semua,” pungkas Mukhlis.
Berharap Cepat Selesai
Juru bicara warga Wonosari, Suparno mendesak Pemerintah Kota Semarang segera menyelesaikan konflik lahan ini. Dia meminta semua aktifitas proyek dihentikan dulu sebelum ada titik terang.
“Kami mohon dengan pihak-pihak terkait agar mengedepankan masyawarah. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kami warga tidak ingin membuat anarkis, tapi pemerintah harusnya mengayomi warga,” harapnya.
Warga mengaku kecewa karena selama ini Pemkot Semarang cenderung menyudutkan warga dan terkesan membela kepentingan cukong. Alasannya, cukong tersebut telah memiliki bukti dokumen kepemilikan tanah dan izin pendirian bangunan.
Tetapi pihaknya menegaskan tidak ingin terjebak dengan permainan tersebut. “Yang kami permasalahkan bukan IMB, tapi bagaimana proses orang berinisial RY tersebut memperoleh sertifikat di Wonosari,” tegas Suparno.
Berdasarkan keterangan di foto copy sertifikat milik RY dijelaskan bahwa wilayah tersebut adalah lahan kosong. Sertifikat milik pengembang itu tertulis diterbitkan tahun 2015. Padahal telah puluhan tahun dihuni oleh warga sebelum sertifikat itu muncul.
“Bahkan, sebagian warga juga memiliki bukti dokumen sertifikat Hak Milik (HM), terutama untuk yang diklaim oleh RY. Sertifikat itu diterbitkan pada 1975-1976,” ungkapnya.
Terkait polemik ini, rencananya hari ini, Rabu (2/9/2020) warga akan dipanggil ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Semarang. (*)
editor: ricky fitriyanto