YOGYAKARTA (jatengtoday.com) – Politik identitas dalam berbagai bentuk kerap menjadi instrumen reguler dalam perhetalan pesta demokrasi dari tahun ke tahun di Indonesia.
Politisasi agama dijadikan taktik oleh kelompok tertentu untuk mendulang kemenangan pemilu. Tidak jarang, politik identitas ini menyasar kelompok rentan menjadi korban kekerasan bahkan berujung nyawa. Diperkirakan, Pemilu 2024 pun tak terlepas dari potensi konflik berlatar belakang politik identitas.
Organisasi Masyarakat (Ormas) Ahmadiyah menjadi salah satu kelompok rentan yang memiliki pengalaman panjang menjadi korban politik identitas. Mulai dari persekusi, penutupan masjid, pembubaran ibadah, stempel sebagai kelompok sesat, hingga penyerangan fisik yang berujung pembunuhan.
Sekretaris Pers Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana, mengatakan insiden penyerangan Ahmadiyah besar-besaran terjadi pada 2005 silam, tak lama setelah pelaksanaan Pemilu 2004.
“Waktu itu, Gerakan Umat Islam Bersatu bersama sejumlah kelompok lain menutup kantor pusat Ahmadiyah di Bogor, Jawa Barat,” ungkap dalam sebuah diskusi bertema Politik Identitas dan Perlindungan Kelompok Minoritas di Tahun Politik, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, secara daring, pada Rabu (22/11/2023) lalu.
Persekusi tak hanya terjadi di kantor pusat Ahmadiyah, namun juga berupa penutupan masjid, penghentian kegiatan dan sebagainya di sejumlah wilayah. Fenomena ini tak lepas dari kebijakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam.
Pada waktu itu, lanjut dia, muncul narasi dengan diksi “sesat” untuk melabeli kelompok yang dianggap berbahaya. Hal itu memicu gerakan semacam legalisasi bahwa kelompok tersebut sah untuk dipersekusi.
“Media memiliki peran signifikan dalam menggelontorkan persepsi yang salah tentang Ahmadiyah dan membangun opini ahmadiyah kelompok sesat, berbahaya,” katanya.
Pada Pemilu 2009, isu Ahmadiyah kembali dipolitisasi. Waktu itu, banyak sekali politisi atau kelompok yang terafiliasi dengan parpol peserta pemilu menebar janji politik untuk membubarkan Ahmadiyah, menutup masjid ahmadiyah dan sebagainya.
“Itu Pilpres 2009. Lalu ada peristiwa Sikeusik 2011, tiga orang Ahmadiyah terbunuh diserang kelompok masyarakat,” ungkapnya.
Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya persekusi terhadap Ahmadiyah dan media turut memperparahnya. Media tidak memiliki koneksi dengan muslim Ahmadiyah, sehingga tidak mengetahui harus ke mana untuk meng-counter isu. Di sisi lain, lanjut dia, Ahmadiyah mempunyai miss-persepsi dengan media.
“Karena ketika mengalami penyerangan, Ahmadiyah berharap penegakan hukum dibantu media, tapi malah lebih menginformasikan statmen dari aparat. Tidak ada komentar apapun dari Ahmadiyah. Kedua, media tidak mempunyai background apapun soal Ahmadiyah itu apa, sehingga tidak punya perspektif sama sekali untuk membicarakan Ahmadiyah,” katanya.
BACA JUGA: Dark Psychology di Balik Kampanye Politik Kita Vs. Mereka
Menyikapi hal tersebut, Ahmadiyah pun kini berupaya untuk lebih dekat dan mengedukasi masyarakat, khususnya media. “Kami ajak live in, pertama mengundang masyarakat termasuk media. kami persilakan melihat dengan dekat masyarakat ahmadiyah. Keseharian dan ibadahnya seperti apa,” ungkapnya.
Dengan mengetahui lebih jelas apa itu Ahmadiyah, apa saja yang dilakukan, diharapkan masyarakat dan media memiliki perspektif lebih baik dalam memandang Ahmadiyah. “Hal ini pun diharapkan dapat menekan dampak politik identitas,” katanya.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan yang juga menjadi salah satu narasumber mengatakan, politisasi identitas terutama dalam bentuk politisasi agama berbahaya dan mengancam demokrasi dan kebhinekaan Indonesia.
“Politik identitas telah menjadi salah satu instrumen reguler dalam pemilu. Tidak hanya terjadi di DKI, namun daerah lain seperti Pilkada di Jawa Barat, Sumatera dan lainnya juga lumayan masif. Kalau ditanya apakah masih akan berlangsung pada Pemilu 2024? saya akan sangat yakin menyebut iya,” ungkapnya.
Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa politik identitas masih sangat mungkin terjadi karena pertama, basis masyarakat di Indonesia belum kuat. Kedua, kuatnya budaya patron-klien di Indonesia.
“Ada patron yang sering menggunakan sentimen kebencian kepada yang lain sebagai instrumen untuk mendapat keuntungan elektoral,” katanya.
Ketiga, belum adanya instrumen hukum yang kuat untuk mencegah praktik politik identitas. “Masih lemahnya kesadaran bersama membangun perangkat hukum yang lebih memberikan efek jera bagi penegakan hukum atas pelanggaran politisasi identitas dalam hajatan elektoral kita,” ujarnya.
Berdasarkan data SETARA Institute, sejak 2017 hingga 2022, selalu terjadi ratusan kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Pada 2017, ada 156 kasus, 2018 ada 160 kasus, 2019 ada 200 kasus, 2020 ada 180 kasus, 2021 ada 171 kasus dan 2022 ada 175 kasus.
Dalam kurun 2017-2022, kasus gangguan tempat ibadah juga cenderung meningkat. Pada 2017 ada 16 kasus, 2018 ada 20 kasus, 2019 ada 31 kasus, 2020 ada 24 kasus, 2021 ada 44 kasus dan 2022 ada 50 kasus.
Pada 2022, gangguan ini terjadi pada 21 gereja, 16 masjid, enam wihara, empat mushola, dua pura dan satu tempat ibadah penghayat.
“Ahmadiyah menjadi salah satu kelompok minoritas yang kerap menjadi korban politik identitas. Sederetan kasus persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah terjadi merentang dari awal dekade 2000-an hingga menjelang pemilu 2019,” ungkapnya. (*)