in

Jangan Cepat Percaya Kabar Daring

SEMARANG – Maraknya penyalahgunaan media sosial (medsos) untuk menyebarkan informasi palsu atau hoax dan ujaran kebencian, diperlukan pemahaman pemanfaatan teknologi informasi secara bijak. Penggunanya diharap menyaring terlebih dahulu sebelum menyebar informasi yang diterima.

“Masih banyak yang belum bijak menggunakan medsos, mencaci dan lain-lain,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jateng Dadang Soemantri, saat membuka Forum Dialog dan Literasi Media “Bijak Bermedia Sosial”, di Hotel Ciputra Kota Semarang, Kamis (2/11/2017).

Pada acara yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tersebut, Dadang meminta, masyarakat dalam menggunakan internet jangan mudah percaya dengan kabar yang baru saja dibaca.

“Saring dulu baru sharing. Baca yang cermat kemudian bandingkan dengan berita lain. Kadang kan kita merasa paling hebat mendapat berita yang pertama, padahal ketika kita kirim berita hoax ruginya berkali-kali, dan kita dosa pula,” katanya.

Upaya yang bisa dilakukan untuk menghadapi hoax dan ujaran kebencian, Dadang menyarankan, agar melaporkannya ke Kominfo ataupun kepihak berwajib.

Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, M Nurul Irfan mengungkapkan, MUI telah mengeluarkan fatwa terhadap penggunaan medsos. Fatwa nomor 24 tahun 2017 tersebut berisi tentang pedoman penggunaan medsos.

Fatwa tersebut sebagai respon MUI atas berbagai pertanyaan banyak pihak yang menjadikan konten media digital yang berisi hoax, fitnah, ghibah, namimah, desas desus, kabar bohong, ujaran kebencian, aib dan kejelekan seseorang, informasi pribadi yang diumbar ke publik.

Kemudian hal lain yang sejenis sebagai sarana memeroleh simpati, lahan pekerjaan, sarana provokasi, agitasi, dan sarana mencari keuntungan politik, serta ekonomi.

“Fatwa tersebut diharap menjadi guidance bagi kaum muslimin dalam bermuamalah di medsos,” katanya yang menjadi salah satu narasumber dalam dialog tersebut.

Dijelaskannya, penggunaan medsos yang kategori haram, di antaranya jika dipergunakan untuk ghibah, namimah (adudomba), dan penyebaran permusuhan. Melakukan bullying, ujaran kebencian, permusuhan atas dasar SARA, menyebar hoax meski bermaksud baik, menyebar pornografi dan kemaksiatan.
“Adapula menyebar konten yang benar tapi tidak sesuai tempatnya maupun waktunya,” ujarnya.

Secara detil, fatwa haram tersebut diberlakukan pula pada kegiatan menyebarkan informasi atau konten yang tidak benar, mencari informasi tentang kejelakan orang lain atau kelompok kecuali untuk kepentingan yang diperbolehkan oleh syar’i.

Kemudian menyebarkan informasi pribadi ke ruang publik, padahal kontennya tidak patut disebarkan ke publik semisal pose pornografi.
MUI juga mengharamkan menjadi buzzer medsos yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, adu domba, bullying, aib, gossip, atau sejenisnya sebagai profesi mencari keuntungan ekonomi maupun non ekonomi.

“Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya,” tegasnya.
Sementara pemanfaatan medsos yang diperbolehkan, yaitu untuk tujuan kebaikan dan ketakwaan, bisa mempererat persaudaraan, menambah ilmu pengetahuan, tidak melahirkan permusuhan dan kebencian.
“Intinya kalau ada informasi yang merasa kita tidak enak dan kurang pas, maka jangan dishare,” tegasnya.

Ketua Umum MUI Jateng, KH Ahmad Darodji mengimbau, masyarakat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan medsos. Jangan sampai perkembangan teknologi informasi yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk hal positif, justru menjadi sebaliknya.

“Kita harus menjadi filter, mempunyai kemampuan memilah dan memilih mana yang perlu disebar dan tidak. Kalau tidak paham harus tabayun. Kalau ada yang bener tapi tidak ‘pener’, maka tak perlu disebarkan,” tegasnya. (ajie mh)

Editor: Ismu Puruhito