in

6 Tindakan Terkait Berita yang Lebih Merusak daripada Bikin Hoax di Media Sosial

Hoax sering terjadi dalam keseharian. Media sosial sering ramai membicarakan berita hoax, adu-pendapat, namun jarang menyingkap perbedaan cara-berpikir dan memandang suatu masalah.

Berikut ini, 6 tindakan terkait berita yang lebih merusak daripada bikin hoax di media sosial.

1. Tidak Mengetahui Sejarah Kata “Hoax” dan Pemakaiannya

“Mengetahui” itu kata-kerja, sama halnya dengan “berpikir” dan “memikirkan”. “Mengetahui” tidak sama dengan mengkonsumsi informasi. “Mengetahui” itu pencarian, tindakan terus-menerus. Sebab dalam sejarahnya, kata “hoax” itu mengalami pergeseran makna. Mencari arti kata “hoax” dari kamus, atau hanya mengira artinya tanpa pengetahuan yang pasti berdasarkan sejarah “hoax”, itu sama dengan membuka arti kata “tuhan” menurut kamus, untuk mengerti apa itu “tuhan”. Ya sebatas itulah yang akan kamu dapatkan.

Bukalah ensiklopedia, pelajari etimologi “hoax”, dan bagaimana riwayat “hoax” sepanjang sejarah.

Hoax itu kepalsuan yang dimaksudkan untuk menipu atau menghibur.

Tipuan ini sering merupakan parodi kejadian, permainan atas topik yang ngehit, atau modifikasi fakta. Hoax awalnya adalah metode sastra, namun hoax di media itu yang paling umum terjadi. Hoax mengarah pada humor dan klarifikasi. Karena menarik, atau kekhawatiran terjadi mispersepsi, orang melakukan “pembenaran” dan “klarifikasi”. Bahkan ada museum hoax, berisi barang-barang dan cerita di balik berita. Tidak jarang, kalau kita bertanya ke kawan di sebelah, mereka menyimpan content (berita, screenshot, foto, video) yang berisi hoax. Atau sedang dikonfirmasi.

Hoax terjadi sehari-hari. Hoax ada di dunia seni, ilmu pengetahuan, literatur, journalisme (media), keuangan, dan identitas.

hoax-history-deception
Ian Tattersall dan Peter Névraumont menjelaskan hoax dalam Hoax: a History of Deception (keluaran Maret 2018) melalui koleksi menghibur, bagaimana sejak 5000 tahun yang lalu, umat manusia sudah akrab dengan hoax.

Contoh Hoax Sehari-hari

Hoax sering terjadi karena kebiasaan orang bercanda dan bercerita. Yang berkuasa di media sosial adalah mereka yang memiliki cerita, sekalipun itu cerita bohong.

Banyak kejadian sehari-hari yang sebenarnya hoax, seperti ini:

  • Memakai aplikasi Android yang bisa mengubah foto profile menjadi cover majalah terkenal. Apa salahnya kalau itu memicu tawa, atau bisa menjadi motivasi pagi pemakai aplikasi tersebut untuk mengawali harinya dengan penuh semangat?
  • Orang mempercantik fotonya sendiri agar dibilang cantik dan diberi tulisan, “Baru bangun tidur..”
  • Menuliskan “Selamat, semoga berbahagia” kepada seorang kawan, lalu kawan-kawannya menganggap orang itu baru saja menikah. Ini karena ucapan ini mengalami penyempitan makna, lebih sering diucapkan kepada orang yang dianggap baru saja menikah.
  • Ada kawan nggak nembus HK atau sgp, tetapi dikabarkan bahwa ia berhasil tembus 4 angka.
  • Memanipulasi foto agar seolah-olah pernah selfie dengan artis terkenal. Namun tidak sebatas ini. Manipulasi digital bukan perkara mudah. Manipulasi digital menjadi bagian dari proses memberikan sentuhan, teknik baru, gagasan baru. Ini genre tersendiri dalam dunia seni digital, termasuk fotografi dan film.
  • Mengubah cerita dari pakemnya, agar lebih kreatif dan punya warna baru, itu juga hoax. Memang, “hoax” menjadi salah satu metode dalam proses kreatif. Banyak sekali lakon dan pementasan kethoprak, wayang, teater, yang berpijak dari metode hoax. Justru dalam sastra dan seni, hoax bisa menjadi pembacaan baru atas “mitos” dan “teks” sebelumnya.

Yang terjadi sekarang ini, dan meresahkan, adalah media sosial sudah nggak selucu dulu. Penuh ketegangan, dengan content politik dan agama melulu.

Masalahnya, ketika hoax menjadi “joke” (guyon) keseharian, ternyata lingkupnya sangat kecil, sebatas pertemanan di komunitas terbatas. Tidak meluas. Padahal tertawa “secara sosial” itu penting, daripada tertawa sendirian.

Kalau “newsmaker” (orang yang ke mana-mana menjadi bahan berita) sekelas Jokowi, dibikin hoax, dalam bentuk gambar lucu dan video kreatif, orang seperti Jokowi nggak akan marah, karena joke dan anekdot visual itu bagian dari ketokohan seseorang. Lain halnya kalau ada tokoh yang dasarnya pemarah dan nggak ngerti seluk-beluk media. Nampang di televisi bikin hoax nasional (sambil marah-marah) dan besoknya dikomplain di media, dia nggak bisa menjawab, bahkan menganggap media yang nggak sejalan dengan dirinya itu disetir pemerintah. Playing victim. Tetapi setidaknya kita terhibur dengan rekor hoax yang dibikin tokoh semacam ini, di mana setiap di depan mikropon atau kamera, hoax terjadi.

2. Bersikap Anti-Hoax

Begitu ada berita atau komentar [yang menurutnya] hoax, langsung marah-marah, kemudian bikin pernyataan-sikap anti-hoax di status “mengutuk”, “menuntut”, dll. Foto orang di-screenshot, diberi stiker dan ujaran kebencian, tetapi marahnya nggak langsung ke orangnya, dan tidak jarang salah “alamat”. Yang salah media X atau tokoh X, malah protesnya ditaruh di profile media sosial sendiri. Sering terjadi, marah dan komplain yang salah-tempat dan salah-alamat seperti ini.

Justru bersikap anti-, akan membentuk mata-rantai kebencian baru. Anti-maling hanya berakhir dengan menangkap para maling, bukan membuat mereka tidak maling lagi. Mencegah maling dan menyadarkan maling itu lebih penting, agar tidak ada maling kambuhan dan maling-maling baru.

Sama halnya, memilih deradikalisasi itu bisa membuat orang radikal menjadi kembali tak-radikal. Anti-radikalisasi, sebaliknya, hanya menimbulkan permusuhan. Sama halnya, anti-hoax itu justru mengembangkan permusuhan.

Kalau sekarang ada 50 orang foto selfie dan membentangkan spanduk “anti-hoax”, saya bertanya, “Apa hasilnya?”. Belum pernah saya menjumpai di media sosial, ada aksi anti-hoax dengan “lampiran tulisan” yang berisi ajaran bagaimana caranya membebaskan masyarakat dari hoax. Rasanya lebih keren kalau 10 orang mau belajar menulis berita, walaupun jumlahnya lebih sedikit, tetapi mempunyai hasil nyata: mereka bisa menulis. Menjadi produsen, pembuat, bukan di posisi konsumen melulu.

Solusinya adalah ajaklah orang lain untuk lebih melek informasi, ajarkan sebisanya tentang bagaimana menulis dan membaca berita. Dan jika melakukan komplain, langsung ke media atau sumber berita, bukan di group atau profile media sosial.

3. Ikut Membagikan Berita [yang Dianggap] Hoax di Media Sosial

Sekalipun kamu tidak setuju dengan berita [yang kamu anggap] hoax, dengan membagikan-ulang itu sama dengan menaikkan popularitas berita tersebut.

Jika misalnya ada orang yang hampir selalu blunder setiap berpidato, dibicarakan di mana-mana, maka mereka yang membicarakannya memiliki kontribusi signifikan dalam mempopulerkan orang itu.

Kalau mau mengajak “mari berbuat baik”, tidak perlu dengan membeberkan 1000 contoh perbuatan buruk.

Menurut algoritma Facebook terbaru, jika content mendapatkan share dan reply lebih banyak, popularitasnya akan meningkat. Kabar yang tidak terlalu mengejutkan, Google dan media sosial (seperti Facebook, Instagram, dan Twitter) rajin menyaring content berdasarkan badwords dan pelaporan pengguna. Kalau sebuah keyword sudah masuk di daftar-hitam, maka postingan yang memperjuangkan kata-kunci itu, akan “good bye”.

Solusinya, jangan ikutan mempopulerkan apa kata lawanmu. Biarkan saja. Lebih baik memperbanyak dan memperbaiki kualitas content kamu sendiri.

4. Mengharap Media yang Jelas-jelas Berada di bawah Perusahaan Besar [Termasuk Facebook dan Google] untuk Menyortir Berita [yang Dianggap Hoax]

Tidak bisa. Media sosial bukanlah media berita. Google bukanlah media berita. Sejak awal, mereka bekerja untuk keuntungan dan iklan.

Bukan soal media tak-bisa netral, juga bukan karena media itu disetir atau tidak. Masalahnya dalam hal ini adalah perspektif orang terhadap fakta yang diberitakan itu berlainan.

Biarkan saja mereka dengan 1001 pertimbangan iklan, tetap seperti sekarang, sebab mereka ini sejak awal didirikan sebagai korporasi, demi keuntungan.

Setiap media memiliki cara-pandang atas realitas yang mungkin berbeda.

Berita tidak sama dengan “kenyataan”. Berita adalah “fakta yang diceritakan”. Fakta bukanlah “kenyataan”. Fakta adalah “pernyataan menurut versi penutur”.

Misalnya, saya diminta memberitakan tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di desa saya. Di situ saya berhadapan dengan pilihan: apa ukuran sejahtera yang saya pilih? Bank dunia, IMF, kementerian ekonomi, para ahli ekonomi, punya standar berbeda tentang tingkat kesejahteraan. Apakah kalau saya pilih salah-satu, atau bikin teori sendiri berdasarkan data di lapangan, bisa bebas dari hujatan orang? Tidak.

Saya hanya perlu menuliskan: ini dasar saya, ini alasan mengapa saya memilih standar ini, dan seterusnya. Saya menggunakan standar ilmu pengetahuan tanpa harus mengikuti apa kata ideologi atau agama tertentu.

5. Tidak Pernah Mendiskusikan Perbedaan Perspektif Berpikir, Termasuk tentang Pengertian “hoax” Menurut Kamu, dengan Orang yang Berseberangan Pendapat Denganmu

Biasakan melakukan elaborasi, menjelajahi ruang-ruang kemungkinan, tanpa amarah.

Apa yang membuat orang lebih bodoh, justru pernyataan-pernyataan yang sepintas “nyaman”, tetapi menciptakan api dalam bara. Setiap ada perbedaan, belum dibicarakan, sudah diputus dengan kalimat, “yang penting kita saling menghormati, tetap dalam toleransi”.

Bukannya ini omong kosong kalau mereka yang berseberangan itu tidak pernah berbicara dari hati ke hati, atau minimal dengan pikiran terbuka?

Mengapa menjadi bodoh? Karena tidak perlu belajar. Sudah nyaman dengan pernyataan itu.

Sungguh menyakitkan hati, ketika melihat anak-anak muda tidak peduli dengan sejarah bangsanya, tidak mendalami pengetahuan yang dibentuk ratusan tahun dari para pendahulunya dalam hal agama dan nasionalisme, karena mereka ini sering diputus, diblokir, dengan ajakan “damai”, “toleran”, “setuju dalam perbedaan”, tanpa ada ruang untuk mendialogkan perbedaan.

Gara-gara “aman” dan “nyaman” dengan toleransi, anak muda tidak tahu fiqh perbandingan, jadinya ketika ditanya tentang bagaimana mereka beribadah, mereka berkilah bahwa “agama itu urusan masing-masing” atau “ibadah itu tidak perlu didiskusikan”. Memang, itu urusan manusia dengan Tuhan, tetapi sebagai pengetahuan, perlu dibicarakan. Termasuk sejarah. Tidak belajar sejarah, akhirnya mereka tidak tahu kalau tujuan para pendiri bangsa ini penuh konflik tetapi sama-sama punya satu perspektif: memikirkan Indonesia ke depan.

“Belajar” itu melampaui “sikap politik” (memilih mana), karena yang penting itu Indonesia-nya, bukan apa pilihan saya sekarang. “Belajar” itu bisa melawan musuh-bersama yang bersifat impersonal, seperti: ketidakadilan, pemiskinan, dan kebodohan. Mengapa justru membesar-besarkan musuh yang bersifat “personal” (mengarah kepada orang atau kelompok)?

“Belajar” itu mendialogkan cara pandang, menciptakan manusia merdeka, dan memerdekakan mereka dalam memilih jalannya.

6. Tidak Mempunyai Sistem untuk Menyortir Hoax Menurut Versi Kamu Sendiri

Seribu kali bilang hoax, tetapi ketika ada anak kecil bertanya, “Bagaimana cara saya untuk membedakan mana hoax dan mana yang bukan-hoax”, jawabannya sering hanya lisan. Jika kamu bernaung di media, apakah mediamu punya sistem untuk menghadapi hoax? Jika kamu bernaung di lembaga pendidikan, apakah lembagamu punya “manual” dalam memperlakukan fakta dan perbedaan cara-pandang?

Coba ketuk akun para tokoh dan selebritas media sosial, yang sering menyatakan “sikap”, yang biasanya memakai sindiran halus sampai sarkas, termasuk orang-orang yang selfie setelah bikin perkumpulan dan pernyataan anti-hoax, tanyakan kepada mereka sekali lagi, “Apakah kamu punya daftar-periksa untuk melihat sebuah berita ini hoax atau bukan?”. Kalau perlu, tanyakan kepada media berita yang selama ini memproduksi berita tanpa henti, dengan pertanyaan sama.

Bagaimana bisa percaya pada media dan orang-orang yang tidak punya sistem verifikasi?

Orang memilih mempercayai berita, karena berawal dari asumsi bahwa berita dianggap sebagai “kenyataan” (seharusnya faktual), padahal “fakta” itu hanya pernyataan menurut versi penutur.

Berita bisa berbentuk “running”: sekarang memberitakan peristiwa A, 20 menit lagi ada perkembangan, fakta itu bisa dianulir dengan fakta lain. Lebih baik berpikiran terbuka dalam mendialogkan “cara-pandang” (bukan mendialogkan pilihan-sikap), sehingga orang lebih melek informasi, tahu bagaimana cara “membaca dan menulis”.

Orang mempercayai berita, kebanyakan bukan karena fakta, tetapi karena memilih mana yang ingin mereka percaya. Kebanyakan, ini berasal dari bias kognitif.

Jika masih ada optimisme dalam “belajar mendalami perbedaan”, setidaknya kita tidak bersikap konyol dalam menanggapi hoax.

Semoga 6 hal di atas cepat lewat dan berganti menjadi tindakan yang lebih produktif. [dm]

Day Milovich,,

Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.