Sementara itu, siang tadi selepas penggusuran, Ariani (33) mengaku belum tahu mau pindah ke mana. Sembari menggendong anaknya, dia terlihat sedih sembari sesekali mengusap air matanya.
“Anak saya 4, masih kecil-kecil semua. Suami cuma kuli panggul di pelabuhan. Kami tidak punya banyak biaya jika harus menyewa tempat tinggal,” jelasnya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Nasib serupa juga dialami nenek sebatang kara, Sumiyem (60). Saat ditanya hendak pindah ke mana, wanita yang mengaku sudah tinggal puluhan tahun di Tambakrejo tersebut hanya menggeleng sambil tertunduk lesu.
Pembongkaran rumah yang berada di bantaran sungai Banjir Kanal Timur (BKT) itu sempat mendapatkan perlawanan dari warga. Bahkan, warga dibantu mahasiswa dan aktivis LSM yang tergabung dalam Aliansi Peduli Tambakrejo.
Kericuhan pun tak terhindarkan. Bahkan, mahasiswa yang terlibat penolakan sempat beradu fisik dengan petugas Satpol PP. Tak sedikit dari mereka yang mengalami memar-memar.
Meski demikian, tidak ada korban jiwa dalam bentrokan itu. Warga dan mahasiswa akhirnya pasrah bangunan warga yang terdampak proyek dirobohkan untuk pembuatan tanggul proyek normalisasi BKT.
Terpisah, Nico Wauran dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menilai, penggusuran tersebut merupakan tindakan melawan hukum karena telah melanggar Perjanjian Mediasi antara warga Tambakrejo dengan Pemkot Semarang dan BBWS Pemali-Juana, yang dimediasi Komnas HAM.
Menurutnya, perjanjian tersebut salah satunya berisi kesepakatan bahwa warga Tambakrejo tidak akan dipindah atau digusur sebelum lahan tempat tinggal sementara selesai dibangun dan diratakan.
Padahal, saat ini, lahan sementara di Kali Banger yang dijanjikan bakal diuruk seluruhnya baru selesai sekitar 40 persen. Sehingga, kata Nico, wajar jika warga menolak untuk pindah karena belum layak untuk dihuni. (*)
editor : ricky fitriyanto