SEMARANG (jatengtoday.com) – Dua minggu pasca digusur oleh Pemkot Semarang, warga Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara, mengaku sudah mulai bisa beradaptasi. Mereka beradaptasi dengan segala keterbatasannya.
Siang hari selepas sholat Jumat (24/5/2019), tak sedikit warga yang menghabiskan waktunya di lokasi pengungsian. Kebanyakan dari mereka, khususnya ibu-ibu, berada di bawah tenda. Meskipun panas dan pengap, namun itulah satu-satunya tempat berteduh paling nyaman yang mereka miliki.
Sedangkan sebagian bapak-bapak yang tidak bekerja, memilih berteduh di bawah jembatan layang. “Kalau di bawah tenda kan panas, mending di sini, silir,” ujar Riyanto, salah seorang warga.
“Tapi kalau ibu-ibu kan terpaksa. Banyak yang capek, pengen tiduran. Apalagi yang punya anak, kan harus sambil kelon,” imbuh Riyanto.
Suasana tampak berbeda ketika melihat anak-anak. Mereka terlihat riang, berlalu lalang. Tetapi bukan berarti mereka senang dengan kondisinya sekarang, melainkan karena sudah mulai terbiasa, bermain di bekas kampungnya yang sudah rata dengan tanah.
Dr Andrian Astoguno Bayu yang sedang bertugas di lokasi mengatakan, yang perlu mendapat perhatian lebih adalah anak-anak ini. Sebab, kondisi psikologis mereka pasca penggusuran tentu terganggu.
“Anak-anak ini butuh pendampingan, butuh teman bermain untuk sekadar melupakan kejadian lalu,” sarannya.
Andrian sudah sejak pagi berada di Kampung Tambakrejo. Ia ditugaskan bersama tim dari Puskesmas Srondol, Kecamatan Banyumanik untuk melakukan penanganan medis jika ada warga yang membutuhkan.
Tapi sejauh ini, ujarnya, tidak ada keluhan sakit yang cukup berarti. “Cuma tadi pagi ada anak kecil yang kakinya lecet. Wajar, kan di sana (bekas bangunan yang dirobohkan) banyak paku dan lain-lain. Apalagi banyak yang mainnya tidak pakai sandal,” imbuhnya.
Ia cukup bersyukur lantaran tidak mendapati orang yang sakit. Sebab, dengan kondisi pemukiman tempat pengungsi semacam ini, sangat rentan dengan penyakit yang berhubungan dengan fecal-oral seperti tipes.
Selain itu, karena banyaknya genangan air, warga juga dekat dengan penyakit tropic infection seperti demam berdarah. “Penyakit kulit pun bisa terjadi karena perilaku hidup bersih yang kurang dari masyarakat,” jelasnya.
Namun, Andrian mengaku tak begitu memahami penyakit apa yang menjangkit. Sebab, ia hanya bertugas sehari, dan tidak diberi tahu oleh petugas medis yang berjaga sebelumnya.
Menurut penuturan warga, kebanyakan terpapar penyakit diare. “Kalau dari pas penggusuran sampai sekarang, yang banyak paling keluhan penyakit diare. Soale kan tempat tidurnya (tenda) terbuka, jadi angine gampang masuk. Apalagi makannya juga sembarangan, seadanya,” beber Riyanto.
“Ada juga kemarin yang sakit gara-gara nggak makan. Kan beban pikirannya banyak. Udah mau lebaran, nggak punya apa-apa, jadine nggak doyan makan. Ujung-ujungnya sakit,” ceritanya.
Saat ditanya mengenai kebutuhan utama warga pengungsian, Riyanto mengaku jika yang paling kekurangan sebenarnya WC umum. Saat ini hanya tersedia 3 tempat, itu pun hanya ala kadarnya.
Untuk air bersih, meskipun dengan kondisi seadanya, terbilang cukup. Relawan dan warga mengaku gotong royong untuk beli air bersih. Sebab, bantuan dari PMI Semarang, sekarang sudah dihentikan.
Tiga hari lalu, Selasa (21/5/2019), Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, mengunjungi pembangunan hunian sementara (huntara) di kawasan Kalimati (bekas Kalibanger) yang bakal menjadi relokasi sementara warga Tambakrejo.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pengerjaan huntara untuk 97 KK warga Tambakrejo itu akan selesai dalam kurun waktu lima pekan. Yaitu terhitung sejak mediasi antara Pemprov Jateng, Pemkot Semarang, dan warga Tambakrejo yang digelar di Balai Kota Semarang, (12/5/2019) lalu.
Pantauan di lokasi, hampir dua pekan pembangunan berjalan, kerangka baja ringan untuk huntara di kawasan itu sudah terpasang. Sebagian lahan juga telah diratakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana.
Dalam kunjungan itu, Hendi turut mengajak Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Semarang, Iswar Aminudin.
Hendi menjelaskan, jika DED selesai pada akhir Agustus 2019, maka target untuk mengerjakan Kampung Nelayan yang berada di Kampung Tambaklorok, bisa dimulai pada tahun 2020.
Di Kampung Nelayan inilah nantinya akan dibangun sebuah Rusunawa. Pemkot Semarang akan memprioritaskan Rusunawa untuk ditempati oleh 97 KK yang terdampak normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur. (*)
editor : ricky fitriyanto