in

Kondisi Terkini Warga Tambakrejo: Tidur Tanpa Sekat dan Sakit Kena Debu Proyek

SEMARANG (jatengtoday.com) – Afri Agus (33) hanya bisa pasrah dengan kondisinya sekarang. Pasca rumahnya yang ada di Kampung Tambakrejo digusur oleh Pemkot Semarang, kini ia terpaksa tinggal di bedeng atau rumah sementara, tak jauh dari lokasi penggusuran.

Pasca penggusuran, pemerintah setempat membangunkan dua bedeng dengan ukuran masing-masing 10 x 21 meter. Bedeng tersebut diperuntukkan bagi 97 Kepala Keluarga (KK) atau lebih dari 300 jiwa korban penggusuran. Mereka tinggal satu atap, tanpa sekat.

“Ya kalau dibilang nyaman, sebenarnya ya tidak. Kami tidurnya kayak ikan pindang, bareng-bareng satu ruangan. Bahkan kalau boleh bilang, ‘hasrat seksualnya’ nggak ada yang tersalurkan,” ceritanya saat ditemui, Kamis (27/6/2019).

Selain itu, sekarang ini ada keluhan terkait banyaknya debu proyek yang beterbangan. Sebab, hunian sementara warga Tambakrejo memang jaraknya sangat dekat dengan proyek normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur (BKT).

“Kemarin anak saya yang kecil pas periksa katanya paru-parunya kotor. Soale memang kebul banget. Makanya warga kalau pada sempat biasanya menyirami jalan agar tidak terlalu banyak debune,” imbuh Afri.

Hal senada juga dikeluhkan Rohmatul Umah (39). Ibu dari 4 anak tersebut mengaku cukup kerepotan hidup di bedeng. Kadang ia merasa kasihan dengan anak bungsunya karena harus merasakan tinggal di tempat seadanya dengan segala keterbatasannya.

Rohmatul sendiri hari-harinya dihabiskan di tempat relokasi sementara. Untuk mengatasi kejenuhan sembari menambah pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, ia membuka lapak jualan di depan bedeng.

“Ya jualan dikit-dikit. Lumayan buat nambah-nambah pendapatan,” ujarnya sembari sesekali melayani pembeli.

Namun secara umun, tak banyak hal yang bisa dilakukan Rohmatul, Afri, maupun ratusan warga lainnya. Mereka mengaku pasrah lantaran semua ini sebagai konsekuensi atas keteguhannya mempertahankan diri dan menolak direlokasi di Rusunawa Kudu.

Semua warga berdalih rusunawa yang disediakan pemerintah tidak representatif karena lokasinya terlalu jauh dengan pantai. Sedangkan mayoritas warga di sana bermata pencaharian sebagai nelayan. Sehingga ia memilih tetap tinggal.

Hingga puncaknya pada 24 Mei 2019, di bulan puasa, ratusan petugas Satpol PP menghancurkan rumah-rumah warga sampai rata dengan tanah. Saat itu, bentrok pun tak terhindarkan.

Masing-masing pihak teguh dengan pendiriannya. Pemkot menyalahkan warga karena tinggal di atas tanah larangan. Rumah-rumah warga didirikan di atas bantaran Sungai BKT, yang notabene ilegal. Padahal saat itu normalisasi sungai mendesak dilakukan.

Sementara warga menolak pindah karena menunggu janji pemerintah yang akan membangunkan bedeng-bedeng sementara. Warga merujuk pada kesepakatan kedua belah pihak yang difasilitasi oleh Komnas HAM.

Hingga kini, akhirnya mau tidak mau warga harus tinggal di tempat relokasi sementara, di bedeng-bedeng yang telah dibangun. Kabarnya, ke depan Pemkot bakal mendirikan rumah deret permanen di sepanjang Kali Banger. Tapi tidak ada yang bisa memastikan kapan waktunya.

“Belum tahu kami akan tinggal berapa lama di bedeng. Katanya sih mau dibangunin rumah deret, biar lebih nyaman. Tapi itu juga belum jelas. Informasinya simpang siur,” tandas Afri. (*)

editor : ricky fitriyanto