in

Dicap Derita Amnesia Akut oleh Rektor Undip, Prof Suteki Meradang

SEMARANG (jatengtoday.com) – Sidang gugatan guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Dr Suteki melawan Rektor Undip Prof Dr Yos Johan Utama kembali berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Rabu (2/10/2019).

Dalam sidang beragendakan replik ini, pihak penggugat menyayangkan sikap Rektor Undip dalam jawaban gugatannya (eksepsi). Sebab, Prof Suteki dikatakan sebagai orang yang menderita amnesia akut.

“Perlu kami tekankan, dari jawaban tergugat kemarin itu sudah menunjukkan suatu sikap yang secara etika tidak baik. Menyampaikan dengan bahasa yang kurang sopan,” ucap Penasehat Hukum Prof Suteki, Muhammad Dasuki seusai sidang.

Menurut Dasuki, jawaban persidangan yang disampaikan secara tertulis itu seharusnya mengikuti kaidah dan etika yang berlaku. Apalagi yang menyatakannya adalah seorang rektor kepada seorang guru besar, yang notabene memiliki intelektual yang sama-sama tinggi.

“Jawaban harusnya disampaikan secara lugas dan santun, serta menggunakan bahasa akademik atau profesional. Maka kami anggap ini telah menciderai bahkan melecehkan Prof Suteki,” tegas Dasuki.

Tuduhan amnesia akut itu tercantum dalam jawaban mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan yang terlalu dini.

Pihak Rektor sebagai tergugat menganggap penggugat (Prof Suteki) sudah mengetahui adanya objek sengketa itu sejak 10 Januari 2019. Objek sengketa yang dimaksud adalah pencopotan dua jabatan penting Prof Suteki di Undip.

Namun, gugatan baru diajukan pada 20 Agustus 2019. Dalam hal ini, Rektor menganggap bahwa pengajuan gugatan oleh Prof Suteki sudah kadaluarsa.

Menanggapi hal ini, Penasihat Hukum Prof Suteki lainnya, Adv Brojol Heri Astono mengungkapkan pihak Rektor lupa bahwa di dalam ketentuan undang-undang sudah secara tegas disebutkan, yang dianggap mngetahui tenggang waktunya yaitu ketika sudah menerima atau pada saat diumumkannya.

“Sedangkan pada tanggal 10 Januari 2019 itu penggugat (Prof Suteki) belum pernah menerima secara fisik ataupun sebatas membaca. Bagaimana mungkin penggugat ini bisa dikatakan mengalami gejala amnesia akut,” bebernya.

“Kalau pun memang dianggap seperti itu, harusnya kan diperiksa dulu, yang berhak menilai atau memutuskan soal penyakit kan hanya dokter, bukan Rektor atau pengacara!” tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Prof Suteki mengaku baru menerima surat secara fisik pada 27 Mei 2019. Sementara pada 10 Januari 2019, dia bersama penasehat hukumnya hanya bertemu dengan Rektor dan Dekan Undip.

“Saat itu hanya diberitahukan bahwa untuk mengakhiri polemik ini dengan cara mencopot dua jabatan penting di Undip. Disamping itu ditegaskan bahwa surat itu hanya untuk formalitas, hanya untuk atasan,” tandas Prof Suteki.

Untuk diketahui, gugatan tersebut diajukan atas surat keputusan nomor : 586/UN7.P/KP/2018 tentang pemberhentian jabatan Prof Suteki sebagai Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum Undip.

Pencopotan oleh Rektor Undip itu sebagai buntut hadirnya Prof Suteki sebagai saksi ahli dalam persidangan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta serta Juducial Review di Mahkamah Konstitusi. (*)

editor : ricky fitriyanto