SEMARANG (jatengtoday.com) – Kawasan Cagar Budaya Kota Lama Semarang sedang bersolek menuju kawasan Living Heritage 2020. Sedikitnya ada 116 bangunan cagar budaya di kawasan yang kerap disebut Little Netherland itu.
Namun sejauh ini baru sebagian yang telah dikonservasi. Gedung yang telah dikonservasi itupun belum sepenuhnya sesuai dengan konsep Living Heritage. Sebab, Living Heritage mengharuskan bangunan cagar budaya tersebut memiliki fungsi sosial dan komersil, serta memberdayakan masyarakat. Sementara yang kebanyakan terjadi, setelah bangunan direstorasi, hanya digunakan untuk kegiatan komersil atau bernilai bisnis saja.
“Sebetulnya masing-masing pemilik bangunan cagar budaya, apabila sadar bahwa hakikat konservasi yang harus dilakukan harus memerhatikan banyak aspek. Baik lingkungan, sosial, maupun budaya. Bangunan cagar budaya ini harus mempunyai manfaat dan berdampak positif bagi masyarakat sekitar,” kata Agus S Winarto, pemilik bangunan cagar budaya Monod Diephuis & Co, Sabtu (30/6).
Sebab, apabila bangunan cagar budaya dikonservasi tetapi tidak memiliki manfaat bagi warga sekitar, maka Kota Lama akan menjadi kawasan yang “kering”.
“Konsep Living Heritage itu sendiri juga akan nampak kaku dan tidak bermakna,” katanya.
Sesuai dengan konsep Living Heritage UNESCO, kata Agus, bahwa sebuah bangunan cagar budaya yang dikonservasi harus bermanfaat bagi masyarakat sekitar. “Baik menyangkut kebudayaan, pendidikan, syukur-syukur mampu berperan mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat sekitar,” terangnya.
Artinya, konservasi bangunan maupun kawasan cagar budaya tidak hanya sekadar pembangunan infrastruktur. “Tapi bagaimana bangunan cagar budaya itu dikonservasi dengan baik dan benar, kemudian mempunyai fungsi ganda, yakni fungsi sosial dan fungsi komersial. Itu sebenarnya yang seharusnya diperhatikan,” katanya.
Kegiatan berbasis komunitas baik bidang edukasi maupun kultur perlu diberikan ruang. “Jika kegiatan berbasis sosial seperti itu tidak pernah ada, bagaimana kita menyebut itu konservasi yang benar? Maka kami berupaya memberdayakan masyarakat sekitar secara rutin,” katanya.
Ia sebagai pemilik salah satu gedung cagar budaya berupaya keras agar pengelolaan cagar budaya tidak salah. Maka kegiatan aktivitas harus memiliki fungsi ganda, yakni fungsi sosial dan fungsi komersial.
“Kami dalam waktu dekat juga akan memberdayakan masyarakat terkait pelatihan pengolahan barang bekas atau daur ulang. Sehingga barang bekas tersebut bisa dikomersialkan oleh masyarakat sekitar,” katanya.
Ia berharap, para pemilik gedung cagar budaya di kawasan Kota Lama turut berperan melakukan edukasi. Menurutnya, Kota Lama ini sangat kaya sekali karena memiliki 116 bangunan cagar budaya. “Bayangkan saja, kalau satu bangunan cagar budaya rela mewakafkan satu hari saja dalam setahun untuk digunakan kegiatan sosial komunitas. Misalnya komunitas OrartOret, Komunitas Sobokarti, atau komunitas adik-adik mahasiswa yang sudah capek membuat seni instalasi. Maka kita akan punya 116 kegiatan dalam satu tahun,” katanya.
Jika setiap pemilik gedung bisa menceritakan sejarah bangunan tersebut satu jam saja, maka wisatawan harus menganggarkan 116 jam di Kota Lama. Artinya, wisatawan itu tidak akan pindah ke daerah lain.
“Sementara yang terjadi, wisatawan di Semarang rata-rata maksimal hanya 5-6 jam, setelah itu mereka akan lari ke Solo. Kalkulasinya sederhana, satu titik hanya setengah jam, selesai. Sementara ini kita baru punya berapa banyak spot? Masih sangat sedikit. Padahal kita punya 116 bangunan cagar budaya,” katanya.
Kalau pemilik rela mewakafkan dua hari dalam setahun, maka akan memiliki 232 kegiatan di Kota Lama. “Dan itu tidak berbayar. Sementara ini, kami di Gedung Monod hanya menjadi penyeimbang. Sedangkan temen-temen pemilik gedung lain konsentrasi kafe, maka kami menyajikan wajah baru. Misalnya gamelan maupun wayang kulit. Senin, Kamis, Sabtu, meski tidak menghasilkan apapun, musik keroncong tetap kami helat. Untuk apa? Sekadar menunjukkan ke masyarakat, bahwa semua orang yang lewat Jalan Kepodang, semua aman,” katanya. (abdul mughis)
editor : ricky fitriyanto