in

Bawakan Tari Pandanaran Nyai Brintik, Maestro Yoyok Bambang Priyambodo Ajak Warga Semarang Bangkitkan Jiwa Kepahlawanan

Dalam sajian ini, para penari perempuan tidak menggunakan senjata cundrik/keris atau Gendewa seperti pada umumnya tari yang bertema keprajuritan.

SEMARANG (jatengtoday.com) – Sanggar Greget Semarang menyuguhkan Tari Pandanaran Nyai Brintik di depan Tugu Patung Soekarno Polder Stasiun Tawang Semarang, Jumat (17/11/2023) malam.

Tari karya maestro Yoyok Bambang Priyambodo ini menceritakan tentang kepahlawanan. Putra Pangeran Sabrang Wetan, Putu Panembahan Demak, Ingkang Asma Pandan Arang
Ugi Kaloka Pandanaran.

Andap Asor Luhur Wicaksana, Bupati Semarang Kaping Pisan, Priyagung Bebuden Bawa Laksana Sinuyudan Mring Para Kawula.

Syair tembang itu merupakan salah satu tembang tulisan Mas Yok, sapaan akrab Pengasuh Sanggar Gereget ini dengan aransemen musik tari Canadian Mahendra bersama Darsono.

Penampilan Tari Pandanaran Nyai Brintik yang disajikan oleh Daniel Doohan sebagai Ki Ageng Pandanaran, Fairuz Salma sebagai Nyai Brintik.

Kemudian Benita, Deva, Dara, Andini, Nabila, Dian, dan Azizah sebagai penari pendukung. Karya ini ditampilkan dengan iringan Gamelan secara live oleh para pengrawit diantaranya Mahendra, Darsono, Ikhsan, Rohmat, Roy, Zen, Vico, Sindu, serta alunan tembang merdu dari vocal Akbar dan Andina.

Tarian ini juga menceritakan bahwa permusuhan, pertengkaran, pertikaian, bahkan pertempuran pun tak selamanya harus saling membunuh dan dibunuh hingga berujung dengan kematian.

Seperti halnya kemarahan Nyai Brintik dimana keberadaan Bukit Brintik sebagai wilayah Semarang terasa terusik oleh kehadiran Ki Ageng Pandanaran tatkala membangun Semarang.

Ada yang baru dalam Penyajian Koreografi Pesisiran Gaya Maestro di Tari Pandanaran Nyai Brintik ini. Seperti unsur-unsur gerak tubuh yang dikembangkan dengan lebih exotis menekankan volume tangan.

Alunan Tembang yang berkisah tentang Semarang di masa lampau zaman Ki Ageng Pandanaran yang dibungkus dengan musik tari tepak rebana Pesisiran semakin menambah Pementasan Tari ini megah.

Dalam sajian Tarian ini, para penari perempuan tidak menggunakan senjata Cundrik/ keris atau Gendewa seperti pada umumnya tari yang bertema keprajuritan. Namun kali ini ada yang baru, yaitu menggunakan senjata berupa Rantai dengan bulatan martil di ujungnya yang di explor berbagai motif gerak.

Hal ini bagian dari Ide Kreatif Inovatif tetapi tidak keluar dari frim pertunjukan Tari. Karya tari yang diawali dengan riset sederhana melalui penelusuran catatan Sejarah, Legenda/Cerita Rakyat, tutur lisan turun temurun, berziarah ke makam Ki Ageng Pandanaran di Mugas dan Nyai Brintik di Gunung/ Bukit Brintik Semarang.

Disertai pula wawancara dengan juru kunci dan pengelola, serta eksplorasi berbagai kemungkinan gerak bersama dengan para penari. Termasuk komposer, desainer Tri Narimastuti, dan Make Up Ratu Gayatri. Karya Tari ini pertama kali dipentaskan di Teater Kecil ISI Surakarta saat Peringatan Hari Tari Dunia pada tanggal 29 April 2023.

Kebersamaan, gotong royong, bekerja sama, dan saling menghargai sesama dalam membangun, menjaga keutuhan Bangsa dan Negara merupakan makna yang tersirat dalam karya tari ini.

“Ini yang dapat kami berikan kepada negara sebagai seniman dalam berkontribusi ikut berpartisipasi menjelang Pesta Demokrasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang tetap damai,” kata Mas Yok.

“Meskipun berbeda suku, ras, golongan dan agama tetaplah damai, seperti sosok Ki Ageng Pandanaran dan Nyai Brintik. Walaupun keduanya berbeda keyakinan dan prinsip namun bersatu padu membangun Kota Semarang di abad 15 masehi silam,” jelasnya.

Pertunjukkan karya tari ini mampu berlangsung sukses dan memukau penonton yang hadir karena kerja sama tim yang dikomandani oleh Sangghita Anjali SSn selaku pimpinan produksi dibantu oleh Sekar Arum, Arifin, dan Veroma Billy. (*)