SEMARANG (jatengtoday.com) – Diakui atau tidak, hampir di setiap wilayah di Indonesia, pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi terus meningkat pesat. Bahkan cenderung tidak terkontrol oleh pemerintah. Baik industri kendaraan roda dua maupun roda empat, secara besar-besaran memasarkan produknya.
Bahkan konsumen diiming-imingi dengan uang muka sangat murah. Hanya dengan Rp 500 ribu, konsumen bisa membawa pulang motor. Uang muka Rp 3 juta, konsumen bisa membawa pulang mobil. Hal tersebut tanpa disadari akan membawa dampak besar dalam berbagai persoalan di kemudian hari.
Mulai dari dampak kemacetan lalu lintas karena pertumbuhan jumlah kendaraan dengan pertumbuhan infrastruktur jalan tidak sebanding, tingginya angka kecelakaan, polusi udara, gangguan kesehatan, hingga pemborosan bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak kerugian ekonomi.
“Jika membiarkan pertumbuhan penggunaan kendaraan bermotor yang meningkat pesat tentunya akan merugikan ekonomi,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, Kamis (30/1/2020).
Dikatakannya, ada kerugian ekonomi jika publik berlebihan menggunakan kendaraan pribadi. Potensi dampak yang akan mengikutinya di antaranya kemacetan lalu lintas, menambah angka kecelakaan lalu lintas, ruang terbuka hijau berkurang akibat menambah kapasitas jalan dan lahan parkir kendaraan, pemborosan penggunaan BBM karena kebutuhan meningkat.
“Ada potensi pemanasan global dari polusi, ganggguan kesehatan, hujan asam sebagai dampak dari asap knalpot kendaraan bermotor berlebihan,” bebernya.
Pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran atas pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi. Salah satunya harus melakukan penataan kembali transportasi umum untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
“Manfaatnya sangat besar bagi penghematan keuangan negara jika mau menata kembali transportasi umum. Oleh sebab itu program transportasi umum selayaknya dimasukkan dalam Program Strategis Nasional (PSN) Pelayanan Publik. PSN tidak harus selalu berupa infrastruktur fisik,” katanya.
Menurut dia, keberadaan transportasi umum yang memadai dapat membawa dampak besar bagi perubahan perilaku dan budaya bertransportasi masyarakatnya. Pemerintah sejauh ini telah menjalankan pelayanan transportasi umum, namun belum serius.
“Banyak ragam program transportasi umum berbasis jalan yang dapat dikembangkan di daerah. Terutama daerah 3 TP (Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Perbatasan) yang harus mendapat perhatian khusus supaya pertumbuhan ekonomi wilayah dapat lebih cepat lagi,” katanya.
Selain penyediaan infrastruktur prasarana juga harus disertai infrastruktur sarana dan pelayanan. Angkutan Perintis Pedesaan, pembagian armada bus ke Pemda yang sudah secara mandiri mau menata transportasi umum, Angkutan Perintis Perbatasan adalah beberapa program yang dapat dikembangkan.
“Subsidi tidak selalu dibebankan kepada keuangan negara (APBN dan APBD). Jika sudah terbentuk badan pengelola transportasi umum, bisa mencari subsidi dari usaha lain,” katanya.
Ahli transportasi Undip, Bambang Pujiono sebelumnya menyebutkan, penyediaan sarana-prasarana jaringan jalan setiap tahun dibandingkan dengan pertumbuhan kendaraan tidak sebanding. Pertumbuhan kendaraan rata-rata 7 persen setiap tahun, sedangkan pertumbuhan penyediaan infrastruktur hanya 1 persen.
“Otomatis, antara beban dan kapasitas belum berimbang, bebannya masih lebih besar. Di Kota Semarang, lalu-lintas di jalan raya hampir 70 persen didominasi motor. Jalanan dipenuhi motor,” katanya.
Menurut dia, pemerintah harus memiliki kebijakan untuk pengendalian terhadap pertumbuhan kendaraan pribadi. Misalnya menerapkan kebijakan atau aturan terkait pembatasan pembelian motor. Dia menyontohkan di Singapura. Setiap kendaraan memiliki lisensi. “Jadi, belum boleh beli kendaraan baru kalau kendaraan lama belum habis masa pakainya. Masa pakai kendaraan selama lima tahun, setelah lima tahun kendaraan tidak boleh beroperasi,” katanya.
Lisensi tersebut baru bisa digunakan untuk membeli kendaraan baru. Dengan begitu, ada upaya dari pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah kendaraan. Selain itu, pemerintah perlu menata pelayanan transportasi umum seperti Bus Rapid Transit (BRT) untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. “Namun, meski disediakan BRT, banyak masyarakat masih memilih menggunakan motor maupun mobil pribadi. Ini yang menjadi persoalan,” ujar dia. (*)
editor: ricky fitriyanto