SEMARANG (jatengtoday.com) – Perkembangan teknologi membawa banyak perubahan di berbagai lini. Salah satunya dalam bidang transportasi. Saat ini muncul fenomena otoped listrik atau skuter listrik yang mulai banyak digemari masyarakat.
Terutama generasi milenial di kota besar. Selain sebagai sarana hiburan, otoped listrik ini mulai digunakan untuk aktivitas transportasi pengganti sepeda motor. Selain bentuknya yang unik dan kecil, otoped listrik dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM), melainkan menggunakan baterai. Ini menjadi kendaraan baru yang banyak diminati anak muda.
Namun otoped listrik yang semakin banyak digunakan masyarakat ternyata menimbulkan polemik. Para pengguna otoped listrik seringkali melintasi trotoar, jembatan penyeberangan orang (JPO), dan seterusnya, sehingga mengganggu hak pejalan kaki. Bahkan, pengguna otoped listrik seringkali melintasi jalan raya dan rentan terjadi kecelakaan.
Polemik otoped listrik menjadi perdebatan belum lama ini setelah ada kejadian dua pengguna skuter listrik di Jakarta meninggal akibat terlibat kecelakaan dengan pengendara mobil.
Munculnya fenomena otoped listrik ini menjadi masalah karena belum ada aturan dari pemerintah untuk pengendara otoped listrik.
“Di Paris dan Singapura dilarang di trotoar, karena trotoar di kedua kota itu dipenuhi pejalan kaki, akan mengganggu pejalan kaki,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, Kamis (28/11/2019).
Diceritakan Djoko, awalnya, otoped atau skuter dorong adalah sebuah pelat dengan roda yang biasanya digerakkan dengan cara mendorong tanah dengan kaki. Pengguna berdiri dengan satu kaki di atas pelat dan kaki satu lagi digunakan untuk menggerakkan otoped. “Dalam perkembangannya, otoped tidak hanya didorong dengan kaki, melainkan sudah dilengkapi dengan listrik sebagai alat penggeraknya,” terangnya.
Menurutnya, pemerintah harus membuat regulasi atau aturan terkait otoped atau skuter listrik ini. Regulasi dapat memuat wilayah operasional, batasan jumlah penumpang, batasan usia, batasan kecepatan yang diizinkan, perlengkapan atau atribut keselamatan yang harus dikenakan.
“Beroperasi di kawasan tertentu bertujuan agar keselamatan terjaga dan pihak penyedia dapat mudah memantau pengendaranya. Dapat diizinkan beroperasi di pedestrian dengan lebar tertentu. Karena tidak semua pedestrian bisa dilewati otoped listrik, terutama yang lebarnya kurang dari tiga meter,” terangnya.
Apabila dibolehkan lewat jalur sepeda atau jalur lain yang steril dari kendaraan bermotor, tentunya, jalur sepeda yang terjamin keselamatan dan keamanan untuk dilewati. “Jalur sepeda yang benar-benar terpisah secara fisik. Demikian pula dengan kecepatan otoped listrik tidak boleh lebih dari 15 km per jam, misalnya,” beber dia.
Perlu diingat, lanjut Djoko, bahwa beban maksimal yang mampu diangkut otoped listrik adalah 100 kilogram, sehingga satu otoped listrik hanya boleh ditumpangi oleh satu orang. “Pengguna otoped listrik juga harus memperhatikan kondisi permukaan jalan yang dilalui. Apabila ada genangan air, permukaan jalan bergelombang dan kondisi jalan curam, seharusnya otoped listrik dituntun (didorong),” katanya.
Selain itu, otoped listrik dilarang digunakan di jalan umum, kecuali jalan di kawasan perumahan dan permukiman. “Otoped listrik bukan kendaraan bermotor, seperti halnya sepeda motor atau mobil. Otoped listrik bisa membantu sebagai alat transportasi pengumpan atau feeder menuju stasiun kereta atau halte bus,” katanya.
Otoped listrik dapat untuk memenuhi kebutuhan perjalanan awal atau first mile dan perjalanan akhir atau last mile.
“Setiap kendaraan yang beroperasi di jalan umum baik bermotor maupun tidak, harus dibuat regulasinya. Regulasi itu dibikin untuk melindungi keselamatan penggunanya,” ujarnya.
Namjn tetapi pemerintah harus melihat perlindungan keselamatan pengguna otoped listrik. Sama halnya ketika Kementerian Perhubungan menerbitkan Permen Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. Kendati sepeda motor tidak termasuk angkutan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Lebih lanjut, kata Djoko, di negara lain seperti Perancis, otoped listrik sudah diatur. Di antaranya melarang pengendara di bawah usia 12 tahun, tidak boleh naik di trotoar, kecuali di area yang sudah ditentukan dan kecepatan otoped listrik dibatasi. Selain itu, setiap otoped listrik hanya boleh satu pengendara, tidak boleh sambil bermain ponsel, pengguna tidak boleh melawan arus dan harus menggunakan jalur yang disediakan.
Selanjutnya, kecepatan tertinggi otoped listrik hanya 25 kilometer per jam, pengguna yang berkendara di jalan lebih cepat harus menggunakan helm dan pakaian dengan visibilitas tinggi, otoped listrik akan dilarang sepenuhnya di jalan negara, serta pelanggar yang melanggar batas kecepatan akan dihukum denda mulai 135 Euro hingga 1.500 Euro atau kurang lebih Rp 2,09 juta hingga Rp 23 juta. (*)
editor : ricky fitriyanto