SEMARANG (jatengtoday.com) – Kasus intimidasi jurnalis kembali terjadi saat meliput konflik di Desa Wadas Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Setelah sebelumnya intimidasi menimpa jurnalis Sorot.co, kali ini menimpa Koresponden Tempo Yogyakarta, Shinta Maharani.
Berdasar kronologi tertulis yang disusun Shinta pada Jumat, 11 Februari 2022, intimidasi terjadi ketika dia sedang mewawancara warga pendukung tambang batu andesit di halaman masjid Dusun Winong, Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Kamis, 10 Februari 2022, kurang lebih pukul 13.30 WIB.
“Wawancara itu untuk kepentingan penugasan dari Majalah Tempo dan Koran Tempo guna menulis laporan tentang konflik rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo,” kata jurnalis yang juga Ketua AJI Yogyakarta itu.
Dalam kesempatan itu, dia bertanya seputar sosialisasi harga tanah yang mereka jual, alasan mereka setuju dengan penambangan, dan ganti rugi lahan yang dibebaskan setelah Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mengunjungi desa itu. Setelah pertemuan DPR dengan warga selesai, Shinta menghampiri warga yang setuju lahannya diukur Badan Pertanahan Nasional untuk penambangan batuan andesit.
“Saya mewawancarai warga yang bernama Sabar dan Siti Rodiah selama sepuluh menit dan belum rampung. Dalam proses wawancara, dua orang yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan memotong wawancara. Mereka saat itu duduk di kursi dan ikut mendengarkan wawancara,” ungkapnya.
Seorang warga perempuan menanyakan asal Shinta bekerja. Setelah dijelaskan dari Tempo, perempuan dengan raut muka marah itu lekas membalas dengan tuduhan bahwa Tempo memproduksi berita bohong tentang konflik Wadas.
“Laki-laki yang satunya ikut menyebut berita Tempo hoaks berkali-kali. Dia menudingkan jari telunjuknya ke arah wajah saya dengan jarak sekitar satu meter,” ungkapnya.
Shinta mengaku merespons tuduhan itu dengan meminta agar dua warga itu menunjukkan berita yang mana dan bukti berita bohong yang pernah diproduksi Tempo tentang konflik Wadas. Namun laki-laki dan perempuan itu tidak bisa menjelaskan bagian berita mana yang hoaks. Mereka justru marah-marah dan mengganggu proses wawancara bersama warga lainnya.
“Saya juga menjelaskan bahwa wawancara ini justru bagian dari menunjukkan fakta utuh apa yang terjadi di Wadas. Ada warga yang menolak dan mendukung tambang. Sehari sebelumnya, saya mewawancarai warga yang menolak tambang dan menulisnya untuk Koran Tempo,” katanya.
“Selain itu, saya juga menyebutkan saya mewawancarai semua pihak yang terkait, seperti pemerintah dan polisi. Tapi, mereka terus marah-marah. Melihat situasi yang kurang kondusif, saya mengakhiri wawancara, berterima kasih, dan berpamitan kepada mereka,” imbuh Shinta.
Saat wawancara, Shinta ditemani rekannya, Danang Yuri Iswanto yang berdiri dengan jarak kurang lebih tiga meter. “Saya meminta dia ikut supaya ada saksi bila sewaktu-waktu terjadi situasi yang tidak kondusif,” ujarnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, AJI Semarang, AJI Purwokerto, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta mengecam keras kasus intimidasi terhadap jurnalis saat meliput konflik di Desa Wadas tersebut.
“Kami mengecam segala bentuk intimidasi yang dilakukan oleh siapa pun dan dalam bentuk apa pun terhadap jurnalis ketika bertugas,” ungkap Ketua AJI Semarang Aris Mulyawan.
Pihaknya meminta kepada semua pihak untuk menghargai kerja-kerja jurnalistik dan menghormati kebebasan pers di Indonesia. Sebab, jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum sesuai Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Memberikan pernyataan atau pelabelan pemberitaan media massa sebagai hoaks secara serampangan dan tanpa bukti merupakan bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan melanggar Pasal 18 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” tegasnya.
Devisi Advokasi AJI Yogyakarta, Hartanto Ardi Saputra menambahkan, pemberian stempel hoaks atau berita bohong terhadap pemberitaan yang telah melalui proses peliputan secara benar dan taat kode etik jurnalistik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis yang bekerja secara profesional.
“Bagi publik atau siapa pun yang menilai pemberitaan media massa tidak akurat atau ada kekeliruan dapat menempuh mekanisme yang diatur UU Pers, yaitu menyampaikan hak jawab atau pelaporan kepada Dewan Pers,” terangnya.
Lebih lanjut, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yakni Pasal 4 ayat 1 UU Pers. “Pelabelan hoaks terhadap berita yang disusun jurnalis dan diterbitkan oleh media massa tanpa bukti adalah tudingan sepihak. Tindakan tersebut serupa dengan upaya menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik dan mengancam kebebasan pers yang dilindungi Undang-Undang Pers,” katanya.
Hartanto menambahkan, sebelumnya, pada 8 Februari 2022, jurnalis Sorot.co sempat dipaksa aparat polisi tak berseragam untuk menghapus rekaman video tentang aksi kekerasan polisi terhadap warga yang diambilnya dalam proses peliputan.
“Aparat kepolisian di Wadas diketahui melakukan sejumlah tindak kekerasan terhadap warga, termasuk pemukulan dan penangkapan 67 orang,” ungkapnya.
Tindakan intimidasi dan memaksa jurnalis menghapus rekaman video hasil liputannya merupakan tindakan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi undang-undang.
“Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta,” terangnya. (*)