in

Mahasiswa: Mosi Tidak Percaya terhadap Gubernur, Polisi dan Menko Polhukam!

Mahasiswa menyatakan akan terus mendukung warga Wadas  yang sedang mempertahankan ruang hidupnya dari upaya perampasan lahan oleh negara.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang saat melakukan aksi di depan Gedung Gubernuran Jawa Tengah dan dilanjutkan di depan Kantor Polda Jawa Tengah, Selasa (15/2/2022). (dokumentasi PMII)

SEMARANG (jatengtoday.com) – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang melakukan aksi mosi tidak percaya terhadap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, kepolisian dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Hal itu terkait polemik penambangan batu andesit yang terjadi di Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo yang belakangan masih terus menghangat. Mahasiswa menyatakan akan terus mendukung dan bersolidaritas untuk warga Wadas  yang sedang mempertahankan ruang hidupnya dari upaya perampasan lahan oleh negara.

“PMII Semarang bersikap menolak proyek pertambangan bantuan andesit di Desa Wadas. Kami menyatakan mosi tidak percaya terhadap segala publikasi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Kepolisian dan Menpolhukam,” tegas Koordinator Lapangan Moch Soni Saifurridzal saat melakukan aksi di depan Gedung Gubernuran Jawa Tengah dan dilanjutkan di depan Kantor Polda Jawa Tengah, Selasa (15/2/2022).

Pihaknya menuntut Gubernur Jawa Tengah mencabut SK No. 590/20 Tahu 2021 Tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pertambangan di Desa Wadas. “Kami mengajak seluruh jaringan masyarakat sipil di Jawa Tengah untuk melawan perampasan ruanng hidup dan perusakan lingkungan di seluruh Indonesia,” katanya.

Menuntut Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM untuk mencabut Surat No. T-178/MB.04/DJB.M/2021. “Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mengusut tuntas tindakan represivitas aparat terhadap warga Desa Wadas,” desaknya.

Menurutnya, pengerahan ratusan angggota kepolisian untuk memperlancar perampasan lahan milik warga Wadas. Desa Wadas pada waktu tersebut sudah dikuasai oleh aparat kepolisian. Sedangkan warga yang konsisten menolak tambang mengalami tindakan represif, bahkan sebanyak 66 masyarakat ditangkap oleh pihak kepolisian, termasuk pendamping hukum dari YLBHI-LBH Yogyakarta tanpa alasan jelas.

“Kehadiran aparat kepolisian hingga hari ini justru memunculkan rasa trauma bagi warga Wadas. terutama bagi Ibu-ibu dan anak-anak,” katanya.

BACA JUGA: Ganjar Wanti-wanti Jangan Ada Pejabat yang Main-Main di Wadas

Menurutnya, negara melalui aparat penegak hukum telah melakukan tindakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, berupa kejahatan terhadap kemanusian. “Hal ini berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, pada tanggal 8 Februari 2022 ratusan aparat berdatangan dan mengusai Desa Wadas, adanya pemadaman listrik, serta perlambatan akses intenet,” katanya.

BACA JUGA: AJI dan LBH Pers Kecam Intimidasi Jurnalis saat Meliput Konflik Wadas

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia “Kejahatan terhadap kemanusian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya bahwa sengan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”.

BACA JUGA: Ratusan Mahasiswa Desak Kapolda Jateng Tarik Pasukan dari Desa Wadas

“Perampasan ruang yang terjadi dengan dalih proyek stategis nasional hanya membawa kesengsaran bagi masyarakat dan menyebabkan hilangnya ruang hidup masyarakat,” tegasnya.

Menurutnya, cara-cara yang digunakan oleh negara terhadap warga Wadas selama ini dirasa telah melangkahi kemanusiaan. Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU 2021 melalui Komisi Waqi’iyah telah mengeluarkan fatwa haram terhadap perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh negara.

BACA JUGA: Ombudsman Gali Informasi Dugaan Maladministrasi di Insiden Wadas

“Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun bait melalui proses Itqa (Redistribusi lahan) atau Ihya (Pengelolaan lahan), maka pemerintah haram mengambil tanah tersebut. Warga Wadas mengandalkan kehidupannya dari tanah tersebut dan sudah menggarap tanah sejak zaman nenek moyang,” katanya. (*)