in ,

Para Arsitek Sedih Lihat Bangunan Cagar Budaya di Kota Lama Dicat Warna-warni

SEMARANG – Para arsitek di Kota Semarang mengungkapkan kesedihannya melihat salah satu bangunan cagar budaya di Kawasan Cagar Budaya Kota Lama Semarang malah dicat warna-warni. Sikap Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang yang justru terkesan mendukung “pelanggaran” tersebut juga menjadi bahan tertawaan publik di jagat media sosial.

Bahkan sejumlah pihak menyayangkan statement Wakil Wali Kota Hevearita Gunaryati Rahayu yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, menyatakan bahwa Gedung Eks Van Dorp di Kawasan Cagar Budaya Kota Lama Semarang itu dinilai tidak memiliki nilai sejarah. Sehingga bangunan tersebut sah dicat warna-warni dan disulap menjadi museum 3D (tiga dimensi) bernama Dream Museum Zone (DMZ) Semarang.

“Saya itu sedih, sebetulnya saya sudah mengingatkan pihak manajemen. Kami di Ikatan Arsitek Indonesia tidak hanya mengkritik lho, tapi juga memberikan solusi,” kata arsitek senior di Semarang, Satrio Nugroho, Minggu (31/12/2017).

Dia tak mempermasalahkan mengenai gedung tersebut difungsikan menjadi museum 3D Dream Museum Zone (DMZ) Semarang. Hal yang disayangkan adalah keputusan mengubah warna asli bangunan cagar budaya Van Dorp menjadi warna-warni dan bangunan tersebut dinilai tidak memiliki sejarah.
“Maka harus diingatkan oleh semua pihak, termasuk oleh temen-temen wartawan, komunitas sejarah, dan lain-lain,” katanya.

Dia melihat dari sudut pandang arsitek, bangunan Van Dorp warna-warni di Kota Lama itu menjadi kehilangan unity. Kota Lama telah menjadi kawasan cagar budaya, maka bila berbicara ‘kawasan’ tentu saja bukan hanya berbicara gedung per gedung. Kawasan Cagar Budaya Kota Lama itu sendiri telah diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang Nomor 8 Tahun 2003.

“Akan lebih elegan tetap menjaga keaslian. Fungsinya monggo mau dibikin apapun oke. Hal yang tampak saat ini, unity fasad bangunan eks Van Dorp tersebut terkesan aneh dan menonjol. Tidak disesuaikan dengan bangunan Kota Lama,” katanya.

Akan tetapi problem terberat dalam masalah Van Dorp ini adalah mengenai adanya Perda yang sudah dibuat oleh Pemkot Semarang, tapi justru malah ditabrak sendiri. “Itu problem utama,” katanya.

Menurut dia, bangunan asli Van Dorp sudah eksotis dan seksi. Hanya saja cara menangani bangunan cagar budaya dalam hal ini Van Dorp yang bisa sebut ‘ngawur’. “Kalau (bangunan cagar budaya) dibikin seperti itu (warna-warni) jadinya malah kayak bangunan ecek-ecek. Pihak investor harusnya juga lebih arif,” ungkapnya.

Satrio juga menegaskan bahwa cat warna-warni bukan menjadi hal yang dilarang. Tetapi penerapan cat warna-warni itu ketika diterapkan di bangunan-bangunan di satu kawasan cagar budaya, apalagi di jalan utama, mestinya menyesuaikan dengan bangunan di Kota Lama.

“Memang banyak di kota-kota dunia yang warna-warni dan dapat penghargaan dari world heritage, karena memang sejarahnya seperti itu. Di Malaka juga ada warna-warni, karena memang ada sejarahnya kenapa warna merah,” katanya.

Ditanya mengenai solusi, Satrio mengatakan bangunan Van Dorp di Kota Lama tersebut telah terlanjur diresmikan sebagai museum 3 D Dream Museum Zone (DMZ) Semarang. Tetapi hal itu bisa diperbaiki, Pemkot Semarang mestinya meminta investor untuk mengembalikan warna bangunan tersebut agar lebih layak dan sesuai. “Kalau fungsi bangunan mau difungsikan sebagai apa itu no problem. Selama unity antara fasad luar dan dalam menyatu. Sebagai seorang yang menyukai heritage, melihat bangunan itu sangat disayangkan, saya sedih. Bangunan cagar budaya kok dioret-orek kayak kampung pelangi. Beda, kalau kampung pelangi memang viralnya karena warna-warni,” katanya.

Mengenai sejarah, Satrio tidak meragukan lagi keberadaan gedung Van Dorp tersebut.
Bahkan gedung eks Van Dorp sangat bersejarah. Terutama sejarah dalam bidang percetakan di Kota Semarang. Sejak zaman Belanda, tempat tersebut menjadi percetakan buku-buku Belanda. Tidak hanya itu, tetapi juga mencetak buku-buku Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, bahkan itu percetakan pernah menerbitkan surat kabar Semarang Nieuws en Advertentieblad yang merupakan cikal bakal Koran de Locomotief. “Kalau dikatakan tidak memiliki sejarah, saya tidak sepakat,” katanya. (Abdul Mughis)

Editor: Ismu Puruhito