SEMARANG (jatengtoday.com) – Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) bakal dilibatkan sebagai petugas Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan anggota PPK di tingkat kecamatan. Mereka ditugaskan untuk membantu tugas KPU Kota Semarang dalam menyelenggarakan Pilwalkot Semarang Tahun 2020.
Sekda Kota Semarang Iswar Aminuddin, meminta para ASN tersebut bisa menjaga netralitas. “ASN yang diperbantukan untuk membantu KPU harus bisa bekerja sesuai ketentuan, menjaga netralitas dan tanggungjawab,” katanya, Jumat (6/3/2020).
Dikatakannya, Pilwalkot yang menjadi momen demokrasi harus berlangsung kondusif dan aman. Sejauh ini, setiap ada Pilwalkot, Kota Semarang selalu kondusif. “Belum pernah ada situasi pelaksanaan Pilwalkot di Kota Semarang hingga terjadi bentrok. Situasi selalu kondusif. Sehingga itu harus kita jaga bersama,” katanya.
Ketua KPU Kota Semarang, Henry Casandra Gultom mengatakan, masa kerja petugas sekretariat sama dengan PPK. Mereka merupakan bagian dari pemerintah yang diperbantukan di PPK. “Setiap kecamatan, PPK ada lima orang dan sekretariat ada tiga orang, terdiri atas sekretaris, bendahara dan staf,” kata Nanda sapaan akrabnya.
Sekretariatan PPK dan PPK, telah dilantik oleh KPU. Tahap selanjutnya, KPU Kota Semarang akan melakukan seleksi administrasi Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan. Seleksi PPS menggunakan tes CAT. “Hasil tes akan kami umumkan melalui website pada Sabtu (7/3/2020). Bagi peserta yang lolos tes tulis, selanjutnya akan dilakukan tes wawancara. Pelantikannya pada 22 Maret 2020,” terang dia.
Sejumlah Potensi Kecurangan Pemilu
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Jateng Rofiuddin menjelaskan Bawaslu sendiri sedang merekrut Panitia Pengawas Desa dan Panwascam. Terkait dengan kerawanan kecurangan Pemilu, tergantung pada sisi tahapan. Dijelaskannya, bahwa sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 10, memuat penjelasan tahapan Pemilu. “Di antaranya pendaftaran calon, masa kampanye, pemungutan suara dan seterusnya. Tahapan pendaftaran calon saat ini status calon masih bakal calon, karena masih memperebutkan rekomendasi,” katanya.
Salah satu kerawanan yang bisa muncul di tahap ini adalah adanya “mahar politik” untuk mendapatkan rekomendasi calon di lingkup partai politik. “Ini menjadi sesuatu yang perlu kami antisipasi karena rekomendasi partai politik bersifat terpusat,” katanya.
Kerawanan lain, lanjut Rofiuddin, adalah seputar politik uang. Praktik kecurangan melalui politik uang menjadi masalah klasik yang mewarnai setiap penyelenggaraan pesta demokrasi. “Hal ini juga bagian yang kami waspadai. Kenapa? Karena kalau melihat data di Jawa Tengah ini, sejak 2013-2019 ada 31 kasus pidana Pemilu yang ditangani Bawaslu Jateng dan sudah inkrah. Dua belas di antaranya adalah kasus politik uang,” bebernya.
Artinya, lanjut Rofiuddin, politik uang hingga saat ini masih menjadi ancaman dalam proses Pemilu. “Maka ini menjadi fokus Bawaslu untuk melakukan proses pencegahan,” ujarnya.
Hal lain yang juga memiliki kerawanan adalah politisasi SARA, penyebaran hoaks dan sejenisnya. “Berdasarkan riset Bawaslu terakhir 2019, di Jawa Tengah ada 11 kasus politisasi SARA,” kata dia.
Pilkada kali ini, masih kata Rofiuddin, juga memiliki kerawanan terhadap netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). “Satu sisi birokrasi harus netral, tapi dia masih punya hak pilih. ASN dipimpin oleh seorang kepala daerah yang sifatnya politis. Karena apa? Orang-orang politis itu didistribusikan dari partai politik. Terkait netralitas ASN ini juga muncul polemik akhir-akhir ini di beberapa daerah. Bawaslu telah memberi rekomendasi untuk diberi sanksi oleh komisi ASN,” terangnya.
Dalam hal penyelenggaraan Pemilu, kerawanan terhadap kesediaan logistik di hari H nanti, politik uang “serangan fajar”, ketidaknetralan penyelenggara dan seterusnya juga menjadi hal yang patut diwaspadai.
Lantas bagaimana dengan Bawaslu sendiri sebagai pengawas dibiayai menggunakan anggaran APBD. Sedangkan dalam proses pengajuan ada peran kepala daerah yang menjadi calon Petahana. Apakah Bawaslu benar-benar independen dan bagaimana jika mendapat tekanan politik? Rofiuddin menjelaskan, memang betul bahwa uang untuk operasional Bawaslu bersumber dari APBD.
“Tapi harus diingat bahwa itu bukan uang kepala daerah. Itu adalah uang rakyat. Selama ini dalam proses pengajuan anggaran kami melakukan sesuai prosedur,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto