Oleh: Kabid Riset dan Inovasi Bappeda Jateng, Tri Yuni Atmojo dan Kasubdit Risbang Ekonomi Bappeda Jateng, Sri Hestiningsih Widiyanti
Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenresitek)/Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN), menginisiasi penyusunan model pengukuran Indeks Daya Saing Daerah (IDSD). Pengukuran IDSD diharapkan mampu menggambarkan kondisi di suatu daerah untuk memudahkan pengoptimalan potensi daerah masing-masing.
Di Jateng, pengukuran IDSD dinilai belum optimal. Termasuk penerapan UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu dan Pengetahuan (Sinas Iptek) yang mencakup keberadaan lembaga penelitian dan pengembangan daerah (Litbangda), Dewan Riset Daerah (DRD) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa).
Permasalahan ini pun coba dicarikan solusi lewat Seminar dan Lokalarya (Semiloka) Nasional bertema ‘Penguatan Inovasi Menuju Daya Saing dan Kemandirian Bangsa’ di Kabupaten Sukoharjo, beberapa waktu lalu.
Banyak hal yang dibahas dalam semiloka tersebut. Utamanya mengenai pengoptimalan kelembagaan Litbangda, SDM Iptek, hingga Organisasi profesi.
Peran Litbangda
Peran Litbangda sangat penting dalam mendorong kemajuan daerah. Hasil litbang yang akurat bisa menjadi rekomendasi pemerintah dalam melahirkan kebijakan yang efektif.
Sayang, peran Litbangda di Indonesia belum dijadikan prioritas dalam penentuan kebijakan meski sudah punya bank data. Padahal, pentingnya peran lembaga litbang sudah dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Litbangda yang tidak dilibatkan untuk menentukan arah dan strategi pembangunan, bisa dilihat dari kebijakan dan langkah yang diambil instansi pemerintah. Tidak sedikit regulasi yang masih tumpang tindih.
Meski begitu, tidak dipungkiri masih ada beberapa kendala dalam membangun Litbangda. Pertama, terbatasnya sumber daya peneliti di Indonesia. Rasio jumlah peneliti terhadap jumlah penduduk di Indonesia tergolong kecil, hanya 4,7 per 10 ribu penduduk. Sementara di Malaysia ada 18 peneliti per 10 ribu penduduk, dan di negara-negara maju mencapai 80 peneliti per 10 ribu penduduk.
Kedua, masalah dukungan anggaran untuk aktivitas litbang di Indonesia juga masih tergolong rendah. Ketiga, masalah penggabungan litbang dengan lembaga lain. Ini menyebabkan fungsi kelitbangan kurang optimal.
Keempat, beberapa daerah yang sebelumnya digabung dan saat ini berdiri sendiri banyak terkendala dengan minimnya SDM dan program pengembangan. Sehingga ada keinginan dari Pemerintah Daerahnya untuk menggabungkan kembali dengan institusi lain.
Kelima, program-program yang dilaksanakan Litbangda antara yang satu dengan yang lainnya masih berbeda. Sehingga perlu ada semacam panduan tentang lembaga litbang yang ideal. Dengan terbitnya UU No 11/2019, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana posisi Lembaga Litbang dengan adanya UU tersebut.
SDM Iptek
Sudah bukan rahasia umum jika penguasaan iptek sangat diperlukan dalam membangun SDM berkualitas. Inovasi dan teknologi menjadi penghela pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional. Jika semua penyelenggara iptek bergerak bersamaan maka kemajuan suatu bangsa akan terwujud.
Banyak hal yang harus dibenahi dan diupayakan untuk meningkatkan daya saing SDM IPTEK. Salah satunya adalah melalui penguasaan teknologi dan inovasi tata kelola SDM. Dalam UU 11/2019 tentang Sisnas Iptek, disebutkan bahwa SDM Iptek terdiri dari peneliti, perekayasa, dosen dan pendukung lainnya.
Permasalahan SDM Iptek saat ini adalah jumlahnya belum mencapai critical mass, dan terpusat di lembaga litbang, serta penyebarannya belum merata. Di Balitbangda lebih terbatas lagi jumlahnya. Karena faktor kekurangpahaman pimpinan daerah. Kedua, adalah kompetensi SDM yang belum memenuhi standar yang diharapkan.
Yang menjadi masalah, peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan, relevansi pendidikan dan pelatihan terhadap masalah riil daerah. Serta efisiensi dan efektivitas sistem manajemen pendidikan dan pelatihannya.
Organisasi Profesi
Organisasi profesi digadang-gadang dapat memelihara atau menerapkan suatu standar pelatihan dan etika pada profesi mereka untuk melindungi kepentingan publik. Banyak organisasi memberikan sertifikasi profesional untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kualifikasi pada suatu bidang tertentu. Meski begitu, masih ada keanggotaan pada suatu organisasi profesi bersinonim dengan sertifikasi.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, disebutkan, setiap jabatan fungsional harus memiliki 1 organisasi profesi. Dan setiap pejabat fungsional harus menjadi anggota organisasi profesi tersebut.
Tugas organisasi profesi adalah menyusun kode etik dan kode perilaku profesi, memberikan advokasi, memeriksa dan memberikan rekomendasi atas pelanggaran kode etik dan kode perilaku profesi.
Para peneliti di Indonesia telah berhimpun di Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) yang lahir 2013 silam. Para perekayasa pun telah berhimpun di Himpunan Perekayasa Indonesia (Himperindo) tahun 2017. Di Pemprov Jateng pun telah terbentuk kepengurusannya pada November 2019.
Sayang, organisasi profesi tersebut belum banyak dikenal para calon anggotanya dan pemangku kepentingan. Alasannya, karena masih baru, dan belum terlihat manfaat nyata bagi para anggota dan daerah.
Karena itu, organisasi profesi harus dapat mandiri dalam mengelola kelembagaannya. Terutama dalam menyediakan sumber daya manusia, sarana prasarana dan sumber dananya.
Dengan berhimpun di organisasi profesi, maka para pejabat fungsional akan terwadahi dalam sebuah ikatan yang lebih kuat dalam berkontribusi dalam pembangunan daerah maupun nasional, hingga ke tingkat global. (BAP). (*)