SEMARANG (jatengtoday.com) – Kementerian Ristek Dikti mengakui, perkembangan penelitian di Indonesia tidak bisa maksimal. Pasalnya, ada dua lembaga peneliti berbeda, tapi melakukan riset yang sama.
Hal itu dikatakan Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek Dikti, Muhammad Dimyati usai membuka konferensi internasional dalam pengembangan wilayah di Hotel Patra Jasa Semarang, Selasa (6/8/2019).
Dia bercerita, sekitar dua pekan lalu BPPT mempublish hasil penelitian cangkang obat dari rumput laut. Beberapa pekan berselang, hal yang sama dilakukan oleh Unair. Hasil penelitian keduanya juga dimuat di media.
“Itu yang dimuat di media. Yang tidak (dimuat) pasti banyak lagi. Artinya, duit negara yang tak banyak tapi diecer-ecer kesana-kemari. Akhirnya malah tidak jadi apa-apa. Hal itu juga pernah dikritik presiden,” ucapnya didampingi Kabid Riset dan Pengembangan Bappeda Jateng, Tri Yuni Atmojo.
Keterbatasan anggaran juga menjadi kendala, yakni hanya 0,25 persen per GDP. Sementara Thailand 0,6 persen per GDP, Malaysia sudah lebih dari 1 persen per GDP dan Singapura lebih dari 2 persen per GDP.
Alasan berikutnya, fasilitas laboratorium di Indonesia tak semaju di luar negeri. Bahkan, kekurangan alat dan teknologi saat akan meneliti hal-hal yang sifatnya mikro. Sehingga mesti menggandeng pihak luar.
Selain itu, dia menilai, peneliti Indonesia yang hebat secara individu, tapi lemah jika mesti kerja tim. Padahal untuk membuat riset yang besar mesti dilakukan secara tim.
“Riset yang dilakukan peneliti Indonesia sering tak melihat kebutuhan pasar atau industri,” imbuhnya.
Akibatnya, hasil penelitian sering tak bisa diterima oleh industri karena tak ada link and match. Hal itu terbalik dengan metode penelitian di luar negeri.
“Banyak peneliti yang meneliti sesuai kebutuhannya sendiri. Misalnya untuk naik pangkat,” terangnya.
Mengatasi hal itu, pemerintah kini menetapkan produk yang boleh diriset hanya 45 item saja untuk 5 tahun ke depan. Hal itu dituangkan dalam RPJMN. Masing-masing produk akan dikawal oleh instansi yang diberikan penugasan.
Dengan metode itu, akan ketahuan mana penelitian yang berhasil dan mana yang tidak. Sehingga reward and punishment bisa diterapkan untuk memacu penelitian kedepannya.
Dari 45 produk itu diantaranya adalah bidang pangan seperti upaya memproduksi padi dari 6 ton menjadi 10 ton per hektare, pengolahan energi sawit menjadi bahan bakar dan pemanfaatan energi nuklir.
“Kalau ini bisa berhasil 80 persen saja maka kita akan punya hasil riset unggulan,” terangnya. (*)
editor : ricky fitriyanto