SEMARANG (jatengtoday.com) – Siang itu, cuaca di atas langit Kota Semarang sedikit redup tertutup mendung. Sejumlah warga berbondong-bondong menuju ke Gedung Monod Diephuis & Co di Jalan Kepodang, Kota Lama Semarang. Raut wajahnya yang datar membuat kesan biasa-biasa saja.
Namun ternyata mereka menyimpan berbagai rentetan permasalahan panjang yang cukup pelik berkaitan hak atas tanah. Tak kurang ada ratusan Kepala Keluarga (KK) di kampung Kebonharjo dan Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Emas Semarang memiliki permasalahan sama.
Selembar kertas sertifikat itu menjerat sebagian masyarakat di wilayah tersebut. Puluhan tahun mereka harus menguras energi untuk mempertahankan hak di pinggiran metropolitan ini.
“Kalau di Kebonharjo kaitannya sengketa lahan dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sedangkan di Tambaklorok dengan pelabuhan yakni PT Pelindo,” kata salah satu warga Tambaklorok, Subowo, dalam diskusi Ruang Monod bertema ‘Pelayanan Sertifikasi Tanah, Sudahkan Berpihak Pada Masyarakat?’ di Gedung Monod Diephuis & Co, Kota Lama Semarang, Senin (20/1/2020).
Dia menceritakan, pada tahun 2000 silam pernah terjadi pelepasan lahan dari PT Pelindo ke Pemkot Semarang. Namun hal itu dianggap tak menyelesaikan masalah secara tuntas. “Kalau sertifikat diagunkan di bank sulit. Saya sendiri kurang tahu itu permainannya bagaimana. Kalau kami minta rekomendasi di BPN (Badan Pertahanan Nasional), dilarikan ke Pelindo. Sebaliknya kalau minta rekomendasi ke Pelindo, dilarikan ke BPN. Di BPN, kemudian muncul HPL (Hak Pengelolaan Lahan),” katanya.
Pada Maret 2017, kata Subowo, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pernah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pelindo III di Surabaya. Ketika itu, lanjut dia, ada pelepasan tanah lagi dari Pelindo seluas 60 hektar. “Kami juga sudah pernah dapat copy-annya. Pada akhir 2018 dan awal 2019, ada program sehat nelayan, yakni sertifikasi hak atas tanah nelayan. Kami diberi kuota 100, dan itu sudah kami jalankan,” katanya.
Permasalahannya, masih kata Subowo, warga merasa dipersulit dalam proses mengurus surat Keterangan Rencana Kota (KRK) di Dinas Tata Ruang Kota Semarang. Lebih dari satu tahun tidak ada kejelasan. “KRK warga Tambaklorok di Distaru sudah satu tahun belum jadi. Kalau informasi dari BPN sudah jadi, tapi tinggal menunggu surat di Distaru. Saya sudah sering konsultasi, tapi tidak ada titik temu,” katanya.
Itu belum seberapa. Belum lagi permasalahan warga Tambakrejo, Tambaklorok, Kota Semarang yang terkena dampak penggusuran atas pembangunan normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) hingga kini masih tinggal di hunian sementara (huntara). Termasuk rencana proyek pembangunan reaktivasi rel kereta api jalur transportasi penghubung Pelabuhan Tanjung Emas-Stasiun Tawang Semarang, hingga kini masih terganjal polemik sengketa lahan di Kebonharjo, Kelurahan Tanjung Emas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.
Kamis 19 Mei 2016 silam, bahkan memicu tragedi eksekusi lahan hingga berujung bentrok antara aparat dengan warga Kebonharjo yang menolak rumahnya dirobohkan. “Terkait lahan di Kebonharjo dan Tambaklorok ini memiliki permasalahan yang rumit,” ujarnya.
Praktisi Pertanahan Hasyim Mustofa menyebut hingga saat ini masih sangat banyak permasalahan tanah di Kota Semarang. Tidak hanya Tambaklorok, Kebonharjo, tapi hampir merata di wilayah pinggiran. “Kami sangat prihatin, sebagian masyarakat di Kota Semarang terutama di wilayah pinggiran, seperti di Mijen, Gunungpati, dan lain-lain, dalam kacamata kami, hak keperdataan mereka ini dirampas adanya Undang-Undang Tata Ruang,” ungkapnya.
Mengapa demikian? Hasyim menjelaskan, warga miskin tidak bisa mensertifikatkan tanah warisan orang tuanya. “Warga ada yang memiliki sertifikat kepala 8, kepala 9, begitu ada Undang-Undang Tata Ruang, di wilayah tersebut diploting menjadi konservasi. Mereka tidak bisa apa-apa,” katanya.
BPN tidak bisa memecah sebidang tanah milik warga tersebut. Alasannya, wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah konservasi sesuai UU Tata Ruang Kota. “Tetapi ironisnya, datanglah pengusaha yang berminat tanah itu untuk dijadikan perumahan. Dengan sendirinya mereka (orang BPN) bilang ‘Oo, bisa’,” katanya.
Plt Kepala Dinas Tata Ruang Kota Semarang, M Irwansyah menjelaskan, tidak semua pemohon bisa dikabulkan. “Yang namanya orang memohon itu bisa jadi bisa tidak dikabulkan, atau dikabulkan bersyarat. Terkait permasalahan di Tambaklorok, saya menjawab secara umum, belum bisa secara detail satu per-satu. Kita tahu, awalnya adalah hak HPL oleh PT Pelindo. Itu mungkin ada problem-problem di sana, sehingga KRK belum jadi. Tapi apapun coba nanti saya cek,” katanya.
Selain itu, lanjut Irwansyah, di lokasi tersebut juga dilakukan normalisasi sungai. Artinya, secara ketentuan tata ruang harus ada garis sepadan maupun bantaran sungai. “Hal-hal ini yang mungkin menjadi problem, tapi saya yakin mestinya masalah seperti ini sudah diinformasikan kepada masyarakat oleh staf kami. Ini akan kami cek apakah masyarakat sudah diinformasikan,” katanya.
Artinya, mengajukan KRK belum bisa dipastikan akan dikabulkan. “Akan saya pastikan, belum jadinya KRK warga Tambaklorok ini karena apa. Apakah karena terkena garis sepadan atau karena masalah apa. Nanti akan kami sampaikan,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto