in ,

Tingkat Kesadaran Pengusaha untuk Daftar Sertifikasi Halal Baru 10 Persen

SEMARANG – Perusahaan produk pangan, obat-obatan, dan kosmetik diminta untuk mengurus sertifikasi halal untuk masing-msaing produk. Pasalnya, mulai 2019 mendatang, pemerintah akan memberlakukan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal. Setiap produk berupa makanan maupun minuman yang masuk Indonesia ataupun yang ada dalam negeri, wajib memiliki sertifikat halal.

Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Jateng, Mochammad Iman menjelaskan, tingkat kesadaran pengusaha untuk mendaftarkan sertifikasi halal ke MUI masih sangat rendah. Di Jateng, tingkat kesadarannya di bawah 10 persen dari seluruh perusahaan yang ada.

“Memang masih sangat kecil atau di bawah 10 persen dari semestinya jika dibanding perusahaan di Jateng,” kata Mochammad Iman, Senin (15/1/2018).

Awal Januari 2018 ini, lanjutnya, baru ada sekitar 40 perusahaan di Jateng yang mengajukan sertifikat halal pada produknya. Terbanyak adalah jenis roti, restoran, dan pemotongan hewan. Keberadaannya ada di daerah Semarang, Surakarta, dan Pati. “Targetnya tahun ini bisa sampai 700 perusahaan yang mengajukan sertifikat halal,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini sertifikasi halal sifatnya belum wajib. Karena itu, perlu sosialisasi yang massif ke masyarakat mengenai pentingnya sertifikasi halal. Terlebih mulai 2019 sertifikasi ini adalah kewajiban.

Dijelaskan, masa sertifikat halal hanya dua tahun. Ketika habis wajib diperpanjang. Biaya sertifikasi sekitar Rp 2,5 juta, dan prosesnya rata-rata adalah 8 minggu. Dalam prosesnya, tim akan melakukan verifikasi produk berupa proses pembuatan, lingkungan sekitar produksi, dan sebagainya.

“Selama ini dari sekian banyak pengajuan, yang ditolak hanya sekitar lima persen. Biasanya karena tidak mau mengganti salah satu bahan baku, serta verifikasi prosesnya yang sulit ditelusuri,” ungkapnya.

Setelah sertifikat halal dikeluarkan, MUI juga melakukan pengawasan pada produk. Baik dengan mendatangi lokasi produksi, maupun dengan cara inspeksi mendadak (sidak) pada produk di pasaran.

Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan hasil verifikasi awal, maka sertifikat dapat dicabut. “Tapi kasus yang ternyata ditemukan tidak sesuai verifikasi awal, selama ini di Jateng sejak LPPOM berdiri belum pernah ada,” katanya. (ajie mh)