SEMARANG (jatengtoday.com) – Mata rantai praktik penipuan, penjeratan utang dan kerja paksa dalam perekrutan dan penempatan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan asing manjadi masalah menyedihkan yang hingga saat ini diabaikan. Praktik perbudakan di laut ini tidak mendapatkan penanganan serius dan cenderung dibiarkan oleh pemerintah.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia serta Persatuan BEM BREGAS (Brebes, Tegal dan Slawi) melakukan aksi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, Jumat (17/12/2021). Mereka mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah turut mengambil langkah nyata guna memutus mata rantai perbudakan di laut tersebut.
Dalam aksi tersebut, sejumlah aktivis menempatkan sebuah kubus besar di dekat gerbang utama kantor Gubernur Jawa Tengah. Kubus tersebut berisi berbagai pesan, salah satunya obituari singkat tujuh ABK yang meninggal di kapal ikan asing, dan testimoni dua mantan ABK tentang kekerasan yang mereka alami selama bekerja.
“Obituari ini untuk mengingatkan pemerintah bahwa banyak nyawa sudah berguguran. Ada banyak nyawa lainnya terancam jika praktik curang dalam perekrutan ABK yang berujung perbudakan di laut tidak dihentikan,” Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno.
Selain itu, aksi teatrikal menceritakan kisah seorang ABK yang tangannya terikat, mulutnya dibekap dan tubuhnya terperangkap dalam jaring dengan latar belakang kapal ikan asing. “Aksi ini menggambarkan bagaimana hak asasi para ABK selama bekerja di kapal asing terenggut,” ujarnya.
SBMI mencatat, berdasarkan laporan pengaduan kasus dan pemberitaan di media massa, selama 2015-2021 sebanyak 45 ABK Indonesia meninggal saat bekerja di kapal ikan asing. “21 di antaranya atau 46,6 persen berasal dari Jawa Tengah,” katanya.
Dalam laporan yang diterbitkan Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI Mei lalu, berjudul “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers”, ditemukan sebanyak 20 manning agency (agen perekrut dan penyalur ABK) terlibat dalam praktik ilegal perbudakan ABK Indonesia dan sebagian besar beroperasi di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Tengah.
“Laporan ini mengungkap sejumlah indikator kerja paksa yang kerap menimpa para ABK, seperti pemotongan upah, kondisi kerja dan kehidupan yang penuh kekerasan, penipuan, dan penyalahgunaan kerentanan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, mengingat Jawa Tengah adalah salah satu wilayah konsentrasi perekrutan ABK di Indonesia, SBMI, Greenpeace Indonesia dan Persatuan BEM BREGAS menilai Pemerintah Daerah Jawa Tengah perlu segera bertindak dan melakukan evaluasi seluruh manning agency di provinsi tersebut.
“Kami mendorong perubahan dalam perbaikan tata kelola perekrutan, penempatan dan pelindungan ABK. Pemerintah Jawa Tengah juga harus memastikan adanya layanan pengaduan dan penanganan yang adil terhadap kasus eksploitasi ABK, termasuk dalam pemenuhan hak para ABK yang sudah kembali ke Tanah Air,” ujarnya.
Merujuk pada Surat Edaran Mendagri Nomor 560/2999/Bangda, Gubernur (dan Bupati/Walikota) harus melaksanakan urusan wajib bidang ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang secara rinci tertuang dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Permasalahan ABK Perikanan dalam kondisi darurat perlindungan. Berbagai permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan,” katanya.
Untuk itu, lanjut dia, gubernur harus segera mengimplementasikan SE Mendagri tersebut. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat harus melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pelindungan pekerja migran. “Termasuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan perekrut ABK,” ujarnya.
Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan para pekerja dipaksa bekerja belasan jam setiap hari di bawah intimidasi mental dan fisik, hidup dalam kondisi mengenaskan dengan asupan makan dan minum yang tidak layak, dan tak bisa melarikan diri karena berada di laut lepas yang jauh dari daratan.
“Perbudakan terhadap ABK ini kerap berdampingan dengan praktik perikanan ilegal di skala global yang kita kenal dengan nama IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing. Permintaan ikan yang terus meningkat. Sedangkan stok ikan sudah berkurang drastis, membuat banyak perusahaan produk makanan laut dan pemilik kapal sudi melakukan berbagai cara untuk tetap meraup untung, bahkan dengan mengeksploitasi ABK,” bebernya.
Di sisi lain, lanjut dia, karena tekanan ekonomi dan keterbatasan lapangan pekerjaan, akan selalu ada anak muda yang berminat menjadi ABK. “Rantai ini yang perlu kita putus,” tuturnya.
Aksi tersebut dilakukan menjelang peringatan Hari Buruh Migran Internasional 18 Desember dan masih dalam suasana peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia tanggal 10 Desember. Mereka juga memasang baliho di dua lokasi yang banyak ditemukan “manning agency beroperasi”, yakni di Tegal, Pemalang, Jawa Tengah, serta di Cirebon, Jawa Barat. Baliho tersebut berisi pesan “Jangan Terjerat Jaring Kapal Ikan Asing!”.
“Pesan tersebut ditegaskan dengan peringatan bagi para calon ABK untuk memahami hak-hak yang semestinya mereka terima, agar tidak terperangkap dalam jaring perbudakan,” terang Afdillah. (*)