in

Sertifikat Tanah Gratis Jokowi Disebut Ketinggalan Zaman

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pakar Hukum Agraria dan Tata Ruang Widhi Handoko melontarkan kritik pedas terhadap program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) gratis yang diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi. Dia menganggap program sertifikat gratis itu sebagai program ngawur.

“Kalau ada hal yang ngawur pasti ada kontroversi. Saya mesti kontroversi, karena saya menganggap program itu program ngawur,” kata Widhi dalam diskusi Ruang Monod bertema ‘Pelayanan Sertifikasi Tanah, Sudahkan Berpihak Pada Masyarakat?’ di Gedung Monod Diephuis & Co, Kota Lama Semarang, Senin (20/1/2020).

Dia menyontohkan performa sebuah mobil yang memiliki batas maksimal kecepatan. “Kalau mobil maksimal jalannya 200 km per jam, digenjot, dipacu 400 km per jam, apa yang terjadi? Mobil itu pasti rusak,” ujarnya.

Widhi menceritakan, pada tanggal 16 Juli 2019 lalu, ia mengaku diundang ke istana presiden untuk dimintai penjelasan seputar PTSL dan pendaftaran tanah. “Diundang oleh Mas Johan Budi (waktu itu menjabat Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi). Saya ingin masyarakat paham, PTSL ini sebenarnya bukan program yang baru. Ini program yang hanya ganti nama. Casingnya saja yang baru. Dulu namanya Ajudikasi, dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk Prona,” katanya.

Sejak dulu, kata Widhi, sistem pendaftaran tanah tidak bisa berjalan secara maksimal karena tidak sesuai dengan aturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah. “Bisa dicek. Jadi, kewenangan pendaftaran tanah itu sebenarnya sudah diserahkan ke pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimana dulu dikenal dengan otonomi daerah,” katanya.

UU tersebut, lanjut dia, kemudian diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, kemudian diperbarui lagi dengan UU Nomor 23 Tahun 2014. Kewenangan tentang pertanahan ini diatur di Pasal 9-12. “Sudah diserahkan ke pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan absolut dan konkuren. Konkuren adalah kewenangan yang bisa dikerjasamakan dengan pemerintah pusat. Misalnya pembangunan Sungai Banjir Kanal Timur (BKT), itu kewenangan konkuren yakni pemerintah pusat. Yang demikian ini sebenarnya tidak efektif,” katanya.

Terkait PTSL, mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2018. “Ketika saya ditanya di istana terkait program ini, apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi ini bagi saya adalah program jadul, karena di buku saya tahun 2009 tentang kebijakan pertanahan (sudah dikupas). Sudah ketinggalan zaman. Sesungguhnya program seperti ini (PTSL) adalah program yang tidak layak,” bebernya.

Widhi mengaku sudah mengusulkan tentang penerapan online sistem sejak 2011 silam. Namun Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak. “Lantas pada 2012 saya menemui Administrasi Hukum Umum (AHU). Yang mestinya hasil penelitian S3 saya itu untuk kantor pertanahan, tapi mereka tidak mau, sehingga kemudian saya dorong ke AHU yang hingga sekarang bisa dinikmati notaris di seluruh Indonesia dengan online sistem. Waktu itu dijalankan oleh Deny Indrayana,” katanya.

Lebih lanjut, BPN dalam konteks pendaftaran tanah sudah sering diberikan masukan. Bahkan diberikan kebebasan untuk menggunakan konsep online sistem tersebut. “Tinggal copy paste. Nggak perlu lagi apa itu PTSL. Itu sudah jadul. Coba bayangkan, layak atau tidak zaman yang katanya Pak Jokowi adalah zaman milenial, penerbitan sertifikat masih pakai kertas? Saya katakan tidak layak, harusnya elektronik sertifikat,” katanya.

Program PTSL tersebut, menurut Widhi, akan meninggalkan bom waktu. Secara kasat mata saja bisa diperkirakan. “Kantor BPN itu satu kota/kabupaten ada berapa? Hanya satu. Semarang ini tiga bulan lalu saya rapat dengan BPN, yang macet ada 9.000 lebih. Bisa dibayangkan, itu namanya (program PTSL) tidak jalan. Seperti ini kalau dipertahankan tidak akan jalan. Agar bisa jalan harus diubah semuanya. Harus online system,” katanya.

Dalam prakteknya, sistem pendaftaran tanah ini tidak akan pernah berjalan kecuali kembali ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yakni harus ada sistem pra pendaftaran tanah. “Nanti wali kota, bupati harus memerintahkan lurah-lurah. Sebab, lurah merupakan orang yang tahu persis pemetaan tanah. Maka lurah-lurah itu harus diberikan tugas dan kewenangan sesuai dengan UU itu. Kalau UU itu dibuat hanya jadi polisi tidur, untuk apa kegunaannya? Lalu sistemnya diperbarui. Selama sistemnya masih menggunakan sistem banci, tidak akan pernah berjalan baik. Karena apa? Negara melepaskan diri, tidak mau tanggungjawab,” bebernya.

Bagaimana tidak, ketiga warga ada masalah tanah, warga tersebut disuruh tanggungjawab sendiri walaupun yang keliru bukan masyarakat. “Anda memproses sertifikat tanah (di BPN), ketika sertifikat bermasalah, Anda disuruh mengadu sendiri di kantor pengadilan. Kenapa? Karena sistemnya tidak jelas,” ujar dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) ini.

“Saya sering menjelaskan kepada mahasiswa saya. Ada Kombes, Brigjen. Saya mengajar kebijakan dan birokrasi, saya terangkan, kalau kebijakan itu masih konvensional dari zaman baheula sampai zaman dal, nggak akan bisa. Semua serba komputer, semua serba elektronik. Kalau sertifikat masih berupa kertas, maka mudah hilang, mudah dipalsu, mudah rusak dimakan rayap dan seterusnya. Kebanjiran, bingung. Ya karena kita tidak mengikuti perkembangan,” katanya.

Tantang BPN Terapkan Pembayaran Online

Di negara-negara maju telah lama melakukan revolusi 4.0. Sedangkan di Indonesia hingga sekarang masih setengah hati. Widhi juga menantang semua pembayaran di BPN pakai kartu atau rekening. “Pemerintah tidak akan bisa dibohongi oleh pejabatnya. Tidak ada transaksi langsung antara pegawai BPN dengan masyarakat. Sehingga tidak ada praktik pungli. Tidak perlu PTSL kalau sistem birokrasinya dibenahi, diubah dengan online sistem,” ungkapnya.

Dia mencontohkan di kepolisian. Menurut dia, perubahan di kepolisian sekarang termasuk hebat. “Mencetak STNK, balik nama, ditunggu saja bisa selesai. Padahal mobil itu barang bergerak. Lha ini tanah barang tidak bergerak, susahnya minta ampun. Mengurus sertifikat tanah ada yang butuh waktu tahunan. Saya katakan PTSL ini gombal. Menurut saya PTSL ini program yang salah,” katanya.

Dipacu sedemikian rupa sekalipun, lanjut dia, PTSL akan menjadi bom waktu. “Kalau dipacu seperti mobil seperti yang saya katakan, nanti dampaknya apa? Nanti akhirnya data tidak valid. Memburu (target program PTSL ini) saja, masyarakat umum yang lain tidak terlayani, macet. Semarang ada 9.000 lebih yang belum tersentuh. Begini kok dilanjut terus dan tidak melakukan perubahan,” tuturnya.

“Kalau mau online sistem jangan gembar-gembor online sistem, hanya pendaftarannya saja yang online, tapi masih memasukkan dengan cara manual, ini membebani dua kali kerja,” katanya.

Selama masih menggunakan sistem transaksi langsung, lanjut Widhi, masyarakat bertemu dengan petugas, bohong kalau tidak ada win-win solution. “Bohong, pasti itu. Tahun 2018 lalu, tanggal 3 Maret, bapak boleh dicek. Mosok hanya ada satu notaris PPAT yang tidak kena OTT (Operasi Tangkap Tangan). Cek itu siapa namanya, kalau bukan Widhi Handoko, udah jangan tanya. Karena saya konsisten terhadap perjuangan itu. Saya tidak mau pungli tentang itu. Maka saran dan solusi saya, ayo bersama-sama pembenahan. Saya sudah memberikan solusi, semua pembayaran birokrasi harus melalui kartu ATM, potong langsung di ATM. Tidak boleh ketemu antara pelayan (petugas) dan yang dilayani (masyarakat),” tegasnya. (*)

 

editor : ricky fitriyanto