in

Pensiunan Pejabat BPN Ungkap Praktik Pungli di Balik Sertifikasi Tanah

SEMARANG (jatengtoday.com) – Praktisi pertanahan yang merupakan pensiunan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), I Made Yasa berbicara blak-blakan mengapa selama ini mengurus sertifikat tanah di BPN cenderung dipersulit, rumit, lama, dan mahal.

“Saya ingin mengoreksi BPN. Saya berpikir untuk bangsa, bukan untuk BPN,” ujarnya dalam diskusi Ruang Monod bertema ‘Pelayanan Sertifikasi Tanah, Sudahkan Berpihak Pada Masyarakat?’ di Gedung Monod Diephuis & Co, Kota Lama Semarang, Senin (20/1/2020).

Dijelaskan, pertama, apabila proses pra pendaftaran sertifikat tanah dilakukan, sebetulnya sertifikat tanah itu bisa diselesaikan dalam satu hari. “Kalau dijalankan bersama masyarakat, tidak lebih Rp 150 ribu selesai. Sehingga bisa selesai di seluruh Indonesia dalam waktu lima tahun. Mengapa sejak tahun 1960 hingga sekarang tidak selesai-selesai? Karena BPN itu berpikir proyek,” bebernya dalam acara yang digelar jatengtoday.com tersebut.

Bagaimana cara melibatkan masyarakat dalam proses pra pendaftaran? Masyarakat harus dilatih mengukur tanahnya sendiri. “Kira-kira masyarakat bisa mengerti atau tidak? Membaca meteran? Kan bisa. Sebenarnya di Pasal 19 dikatakan pendaftaran sertifikat tanah itu dilakukan bersama dengan masyarakat dengan cara mudah dan sederhana. Artinya apa? Itu sebetulnya sangat murah. Tapi karena dirumit-rumitkan, menjadi mahal untuk pemasukan kantong sebenarnya,” terangnya.

Dia mengaku sejak masih aktif bekerja di BPN telah melakukan kritik serupa. Namun hal itu tetap tidak membuat sistem lama ini berubah. “Kalau BPN mau cari duit mestinya bukan di pendaftaran sertifikat tanah. Cari duit di BPHTB. Jual beli, investasi, banyak lho itu. Kalau pendaftaran sertifikat tanah untuk cari duit, itu ada pemerasan, ada suap. Data ada di desa, lalu BPN hanya produk sertifikat. Hanya nge-cap saja lho itu, tapi kok biayanya mahal. Dikatakan gratis pula,” katanya.

PTSL akan Berdampak Jangka Panjang

Dia memperkirakan, sistem PTSL ini akan bermasalah dalam jangka panjang. Diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun hingga 20 tahun kemudian, ketika wilayah tersebut mulai berdiri pembangunan, baru akan bermasalah.

“Kalau sekarang sih belum. Saya berikan contoh di Irian Jaya, pembangunan Bandar Udara Sentani itu memberi ganti rugi sebanyak tiga kali. Pertama dibayar ke suku ini, sepuluh tahun kemudian dibayar lagi ke suku lain, selanjutnya dibayar lagi ke suku lain. Itu karena apa? Karena datanya tidak bagus,” katanya.

Terkait apakah pelayanan sertifikat tanah sudah berpihak kepada masyarakat? “Menurut saya belum. Saya juga ingin bertanya kepada Dinas Tata Ruang Kota, waktu menyusun apakah pola yang dijalankan saat ini sudah benar apa belum? Karena sepengetahuan saya saat belajar Ilmu Tata Ruang Kota di luar negeri tidak seperti itu lho,” katanya.

Dijelaskannnya, di luar negeri ketika hendak membuat Tata Ruang Kota seperti penentuan wilayah merah, kuning, biru, maka tanah tersebut harus kosong terlebih dulu. “Tidak ada hak atas tanah. Jadi, kalau kawasan hutan belantara seperti di Kalimantan, itu bisa dijadikan merah, kuning, biru. Tapi kalau tanah kebanyakan di Indonesia, hak tanahnya sudah ada dan turun temurun. Pertanyaannya, metode yang digunakan dalam Tata Ruang Kota apakah sudah benar?” katanya.

Menurut dia, Tata Ruang Kota itu sendiri sejauh ini tidak memberikan solusi bagaimana hak atas tanah tersebut. “Sehingga rakyatlah yang dikorbankan, harus ada KRK dan lain-lain. Jadi kalau pendataan tanah itu dikaitkan dengan tata ruang kota, justru melanggar Undang-Undang. Karena memotong hak keperdataan orang,” katanya.

Plt Kepala Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang M Irwansyah mengatakan terkait tata ruang di Indonesia memang baru-baru ini diberlakukan. Undang-Undangnya pun baru dan terus diperbarui. “Tetapi metode kami dalam merencanakan tata ruang juga tidak sembarangan. Tapi mungkin karena prosesnya kurang sempurna,” katanya.

Dalam prosesnya, pihaknya mengaku telah melibatkan berbagai stakeholder, mulai lurah, camat, masyarakat, dan BPN. “Semua sudah kami ajak bicara. Selama tidak ada informasi (masukan) masuk ke kami, mungkin juga bisa menjadi salah. Namun demikian, dalam ketentuan tata ruang masih ada kesempatan kalau memang salah dalam penetapan, dimungkinkan untuk direview,” katanya.

Sehingga apabila di masyarakat terjadi masalah, pihaknya memastikan akan melakukan review. Tujuan tata ruang adalah untuk mengendalikan pembangunan supaya generasi selanjutnya bisa nyaman di kemudian hari. “Pemerintah tentu tidak ada keinginan menyengsarakan masyarakat. Pemerintah tetap ingin menyejahterakan masyarakat. Yang namanya manusia mungkin belum sempurna, kita sempurnakan. Secara prinsip seperti itu,” katanya.

Acara diskusi Ruang Monod tersebut juga menghadirkan praktisi pertanahan Hasyim Mustofa. Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang Sigit Rachmawan Adhi sebenarnya juga diundang sebagai narasumber, tetapi tidak hadir. (*)

 

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis